REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyerahkan sepenuhnya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyelesaikan kasus-kasus dugaan korupsi, termasuk yang menjerat Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sofyan Basir. KPK telah menetapkan Sofyan sebagai tersangka kasus suap pembangunan PLTU Riau-1.
"Ya berikan kewenangan ke KPK untuk menyelesaikan setiap masalah-masalah hukum yang ada, terutama dalam hal ini korupsi," ujar Jokowi di Jakarta Convention Center, Rabu (24/4).
Penetapan Sofyan Basir sebagai tersangka oleh KPK karena diduga menerima janji bagian suap dalam kasus pembangunan PLTU Riau-1. Suap yang diterima Sofyan diduga hampir sama besar dengan jatah Wakil Ketua Komisi VII Eni Maulani Saragih dan mantan sekretaris jenderal Partai Golkar Idrus Marham.
Menurut Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, KPK telah menemukan bukti dugaan yang cukup terkait keterlibatan Sofyan dalam suap kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1. Saut mengatakan, bersama Eni dan Idrus, Sofyan diduga menerima hadiah atau janji dari Johannes Budisutrisno Kotjo terkait kerja sama proyek tersebut.
Sejak Oktober 2015, Direktur PT Samantaka Batubara yang merupakan anak usaha Blackgold Natural Resources Limited milik Kotjo mengirimkan surat pada PT PLN. Surat tersebut berisi permohonan agar memasukkan proyek PLTU ke dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN.
Namun, karena tak ada tanggapan positif, Kotjo akhirnya mencari bantuan agar dibuka jalan berkoordinasi dengan PT PLN pada 2016. Kotjo diketahui menginginkan proyek independent power producer (IPP) PLTU Mulut Tambang 1 (MT Riau-1).
Dalam pertemuan itu, Sofyan diduga telah menunjuk Kotjo untuk mengerjakan proyek PLTU Riau-1 karena PLTU di Jawa sudah penuh dan ada kandidat. Padahal saat itu Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan belum terbit.