Jumat 19 Apr 2019 16:09 WIB

Diplomasi Sawit, Akankah Indonesia Tunduk kepada Uni Eropa?

Jika selama ini Indonesia terkesan selalu bersikap defensif, kini saatnya melawan.

Nidia Zuraya
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nidia Zuraya*

Uni Eropa melakukan pembatasan penggunaan produk turunan CPO sebagai bahan baku biodiesel atau biofuel. Bahkan Parlemen Uni Eropa telah menyetujui rencana phase out biodiesel berbahan minyak sawit mentah mulai 2021.

Kebijakan pembatasan penggunaan CPO untuk bahan baku biodiesel di negara-negara anggota Uni Eropa ini tertuang dalam perubahan regulasi Renewable Energy Directive (RED). Wacana pengurangan penggunaan CPO oleh Eropa sudah dimulai 2,5 tahun silam, tepatnya pada 30 November 2016. Pada tanggal itu, Komisi Eropa mengajukan pengurangan CPO melalui proposal legislatif di Parlemen Eropa.

Salah satu dari perubahan yang diusulkan adalah bagian biofuel berbasis tanaman pangan yang dapat diperhitungkan terhadap target energi terbarukan Uni Eropa akan dikurangi secara bertahap hingga 3,8 persen sampai dengan tahun 2030.

Dalam perjalanan penyusunan perubahan regulasi RED ini Komite Industri, Penelitian dan Energi Parlemen Eropa mengeluarkan rekomendasi yang semakin memberatkan industri CPO atau yang dikenal dengan RED II. Rekomendasi yang dikeluarkan pada 6 Desember 2017 itu menyebutkan bahwa kontribusi dari biofuel yang diproduksi dari CPO akan dikurangi hingga nol persen mulai 2021.

Rekomendasi tersebut menjadi tamparan besar bagi industri kelapa sawit Indonesia. Mengingat selama ini Indonesia mengekspor minyak kelapa sawit atau CPO ke-19 negara Uni Eropa, dengan volume ekspor mencapai 4,7 juta ton pada 2018 lalu.

Mengapa negara-negara kawasan zona euro melarang CPO? Parlemen Uni Eropa menilai industri sawit menciptakan banyak masalah. Seperti deforestasi, degradasi habitat satwa, korupsi, pekerja anak, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) hingga anggapan bahwa minyak sawit tinggi kolesterolnya.

Dibombardir dengan kampanye-kampanye hitam oleh Uni Eropa sejak dua tahun terakhir, pemerintah dan pemangku kepentingan di industri hulu hingga hilir sawit tak berdiam diri. Berbagai upaya diplomasi ditempuh oleh pemerintah dan mereka yang berkepentingan di bisnis sawit ini.

Puncaknya pada awal April kemarin, Pemerintah Indonesia bersama dengan sejumlah negara produsen CPO dunia seperti Malaysia dan Kolombia menyambangi markas besar Komisi Uni Eropa di Brussel, Belgia.

Pada dua hari kunjungan diplomasi tersebut (8-9 April 2019), delegasi Indonesia melakukan pertemuan bersama Wakil Presiden Parlemen Uni Eropa, Heidi Hautala dan anggota, Komisi Eropa, Dewan Eropa, dan para pelaku bisnis di bidang biodiesel. 

Oleh-oleh yang berhasil dibawa delegasi Indonesia dari Brussel adalah tawaran dari Komisi Uni Eropa untuk membentuk forum bersama guna membahas keberlanjutan status sawit pada 2021 mendatang. Forum bersama itu bisa dilakukan secara tertulis antara kedua belah pihak serta dapat dijadikan landasan kebijakan sawit pada tahun 2021.

Melalui forum bersama ini Uni Eropa membuka kesempatan untuk melakukan peninjauan ulang kebijakan. Sekaligus, kriteria dalam menetapkan kategori sawit apakah memiliki risiko tinggi atau rendah terhadap lingkungan.

Di mata pemerintah Indonesia, tawaran Komisi Uni Eropa ini tidak cukup memuaskan. Alasannya simpel, mengacu kepada pengalaman diplomasi dagang yang dilakukan pemerintah selama ini penawaran semacam itu tak berujung pada kejelasan.

Hingga saat ini kebijakan RED II belum diterapkan. Kebijakan tersebut akan mulai diberlakukan pada Mei 2019.

Dalam sengketa sawit ini pemerintah menegaskan posisi Indonesia sudah sangat jelas. Di satu sisi, industri kelapa sawit mempekerjakan sekitar 19,5 juta petani, jumlah yang lebih besar dari pada penduduk satu negara di Eropa. Di sisi lain komoditas CPO selama ini menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar ke kas negara.

Sementara itu para pelaku bisnis meminta pemerintah tidak berpuas diri dengan hasil kesepakatan pada awal April kemarin. Mereka menegaskan akan terus melanjutkan upaya hukum di Eropa dan di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Tak hanya menempuh jalur hukum, pelaku industri sawit akan mencari pasar lain sebagai salah satu upaya untuk mempertahankan kinerja ekspor.

Selain tiga cara tersebut, pemerintah sebenarnya bisa memanfaatkan situasi perang dagang antara Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS). Perang dagang di antara raksasa ekonomi dunia ini dipicu tarif subsidi pesawat Eropa.

Dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang besar dan destinasi pariwisata yang terus bertambah, kebutuhan akan moda transportasi pesawat setiap tahun terus meningkat. Jumlah penumpang transportasi udara di Indonesia pada 2030 diprediksi mencapai lebih dari 335 juta orang dan itu butuh pesawat lebih dari 1.000 pesawat.

Jumlah penumpang yang mencapai 335 juta orang itu hanya untuk penerbangan domestik. Jumlah tersebut belum memperhitungkan lalu lintas penumpang di pasar regional, baik ASEAN atau Asia Pasifik.

Tingginya kebutuhan armada pesawat terbang di industri penerbangan nasional bisa menjadi posisi tawar Indonesia untuk menekan Uni Eropa. Jika selama ini Indonesia terkesan selalu bersikap defensif, kini saatnya melawan.

Jika cara negosiasi yang dilakukan menemui jalan buntu, maka gertakan kini menjadi pilihan. Akankah dalam pertarungan sawit ini Indonesia bisa menundukkan Uni Eropa atau sebaliknya seperti yang sudah-sudah kita kerap kalah dalam diplomasi dagang di kancah internasional?

*) Penulis adalah Redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement