Kamis 18 Apr 2019 11:27 WIB

Menatap Indonesia Seusai Pilpres

Demokrasi membutuhkan kedewasaan pihak yang menang maupun kalah

Abdullah Sammy
Foto: Republika/Daan Yahya
Abdullah Sammy

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdullah Sammy

Pemilihan Presiden dan Pemilu Legislatif 2019 telah rampung dilaksanakan kemarin. Beragam rasa masih tersisa. Ada yang puas, ada pula yang kecewa. Inilah sensasi demokrasi.

Demokrasi membutuhkan kedewasaan pihak yang menang maupun kalah. Menang bukan malah besar kepala. Sedangkan kalah bukan berarti harus marah.

Terkadang yang menang besar kepala dan akhirnya diciduk KPK. Yang kalah pun kadang tidak bisa terima hingga bertindak di luar logika. Walhasil yang menang masuk penjara, yang kalah masuk rumah sakit jiwa. Semoga ini tak terjadi di negara kita tercinta.

Terlepas dari segala dinamika yang ada, kita semua harus bersuka cita bahwa pemilu berlangsung aman dan penuh suka cita. Meski media sosial menggambarkan pertarungan yang cukup brutal antara pendukung kedua capres, tapi di lapangan rakyat rukun-rukun saja. Agaknya kita memang terlalu didramatisasi oleh perang di dunia maya hingga larut dalam konstruksi polarisasi yang terkesan tajam.

Saya melihat sendiri kondisi di TPS malah penuh keceriaan antara masa 01 dengan 02. Kondisi yang sama berlangsung di tataran elite yang bertarung.

Di depan kamera televisi, elite-elite itu terkadang berdebat begitu keras dan emosional. Saat rol kamera berhenti berputar, para elite itu ngopi-ngopi sambil tertawa.

Dalam tulisan ini, saya tidak masuk ke dalam narasi pemenang dan yang kalah dalam pilpres. Sebab rasanya kita sudah overdosis soal perdebatan politik yang itu-itu saja.

Tulisan ini akan saya akan kaitkan konteks masa depan selepas Pilpres. Masa depan harus dipandang dalam landskap yang luas. Memandang masa depan mesti menggunakan teropong global yang jauh lebih besar.

Celakanya selama ini politik telah membuat pandangan kita menjadi sesempit jarak angka 01 dan 02. Ini terlihat dari perbandingan isu utama di Indonesia dan negara lain dalam sepekan terakhir.

Isu utama yang jadi perbincangan rakyat Indonesia di media sosial disesaki seputar duel capres 01 dan 02. Di saat yang sama, warganet di belahan bumi lain sedang sibuk-sibuknya membahas black hole, alias lubang hitam. Sebab untuk pertama kalinya, black hole berhasil dipotret para astronom dengan menggunakan Event Horizon Telescope (EHT).

Ini menjadi sebuah terobosan besar yang bersejarah bagi ilmu pengetahuan dan teknologi. Sontak warganet langsung heboh karena untuk pertama kalinya hal yang paling misterius di alam ini berhasil dipotret.

Warganet pun langsung mengaitkan lubang hitam dengan plot film Interstellar yang berspekulasi bahwa benda di alam semesta itu adalah jembatan antar dimensi yang bisa mengantar objek di dalamnya ke sisi lain semesta.

Di saat warga dunia sedang larut-larutnya berdiskusi isu luar angkasa, teknologi tinggi, dan astronomi itu, di Indonesia kita masih berkutat pada lubang hitam yang kita buat sendiri, yakni tentang 01 versus 02. Agaknya misteri soal pemenang pilpres lebih menarik minat warganet Indonesia, ketimbang misteri lubang hitam yang sudah bergulir sejak ilmuan Inggris, John Mitchell, mengungkapnya tahun 1783.

Pada titik ini, kita perlu mensyukuri gelaran politik sudah berakhir 17 April 2019. Kita semua tentu berharap segala 'kegilaan' ini berhenti secepatnya.

Berbicara politik memang tidak salah. Namun jika terus menerus menjadikannya sebagai isu utama yang menyita waktu dan pikiran, maka hal itu malah akan membuat bangsa besar ini semakin mengecil. Overdosis politik mengancam bangsa ini tersedot ke dalam lubang hitam fanatisme yang sangat menghancurkan.

Lebih dari cukup rasanya energi kita terkuras isu politik sejak Pilgub DKI 2012, Pilpres 2014, Pilgub 2017, 2018, hingga Pilpres 2019. Terlalu banyak waktu yang kita sia-siakan selama tujuh tahun terakhir ini hanya karena perebutan kursi kekuasaan.

Kita perlu sadar banyak hal yang jauh lebih besar ketimbang menang dan kalah dalam pemilu. Hal tersebut seperti persaingan global antarbangsa. Negara lain di dunia telah berlomba-lomba mengembangkan potensi mereka di bidang teknologi, ekonomi, budaya, hingga olahraga.

Ini seperti negara tetangga kita Singapura yang sedang mengembangkan satelit baru yang lebih cepat dalam mentransmiskan data sehingga membuat akses informasi jadi jauh lebih kilat. Sementara itu negara Vietnam dan Thailand sedang getol-getolnya mengembangkan sepak bola mereka untuk bisa menembus Piala Dunia 2022 di Qatar. Di sisi lain, kita seakan lupa isu tekonologi dan prestasi sepak bola karena pilpres.

Terlalu kecil nilai kita sebagai negara jika menempatkan menang dan kalah dengan sesama anak bangsa sendiri. Kita harus menempatkan menang dan kalah pada kacamata global.

Toh, kalau bangsa ini kalah bersaing di dunia olahraga yang sedih juga adalah pendukung 01 maupun 02. Kalau negara ini tertinggal dari sisi teknologi yang rugi pun kita semua. Dan bila ekonomi negara ini maju maka yang merasakan bukan hanya pendukung 01, tapi juga 02.

Jadi marilah kita berpikir besar. Meminjam istilah populer, think big, dream big, belive big, and your results will be big. Jangan justru berpikiran sempit dengan mengartikan politik seakan menentukan hidup dan mati Anda. Toh, yang menentukan masa depan kita adalah diri kita sendiri, bukan Prabowo atau Jokowi. Pun halnya yang akan menentukan masa depan bangsa Indonesia bukan sekadar 01 atau 02, tapi kita bersama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement