Rabu 17 Apr 2019 15:31 WIB

Pembebasan Lahan DDT di Stasiun Kranji Digugat Warga

Warga meminta penghitungan ulang nilai ganti rugi tanah.

Rep: Febriyan A/ Red: Dwi Murdaningsih
Angkutan umum dan ojek online di depan Stasiun Kranji
Foto: tiar bekasi
Angkutan umum dan ojek online di depan Stasiun Kranji

REPUBLIKA.CO.ID,  BEKASI -- Pembangunan jalur dwi ganda atau double-double track (DDT) lintas Manggarai-Cikarang terus dikerjakan PT KAI. Namun proyek itu kini terganjal tuntuwan warga di Stasiun Kranji yang menginginkan penghitungan ulang nilai ganti rugi tanah.

Puluhan warga yang tinggal di belakang Stasiun Kranji, RW 02, Kelurahan Kalibaru, Medansatria, Kota Bekasi menolak perhitungan ganti rugi tanah mereka yang akan dijadikan DDT tersebut. Meski perhitungan itu telah selesai dilakukan sejak tahun 2015, warga menolak hasil proses aprisial atau penaksiran harga aset mereka.

Baca Juga

Tanah yang akan diganti rugi oleh Direktrat Jendral Perkeretaapian (DJKA) melalui Balai Teknik Perkeretapiaan untuk membangun DDT adalah sebanyak 29 bidang tanah. Terdapat 40 Kepala Keluarga (KK) yang bermukim di atas bidang tanah tersebut.

"Tahun 2015 ketika dilakukan aprisial itu kita sudah menolak juga hasilnya karena belum memenuhui rasa keadilan kita," kata Kordinator Warga, Tomas Pardede, Selasa (16/4).

Namun, sambung Pardede, ketika hasil aprisial yang dilakukan Balai Teknik Perkeretaapian melalui lembaga independen KJPP Fast dikeluarkan tahun 2015, pihak warga tidak mendapatkan informasi yang lengkap dari pengadilan. "Warga tidak diberitahukan ternyata punya waktu 14 hari untuk melakukan gugatan jika tidak setuju," kata Pardede.

Warga pun tidak mengajukan gugatan atas hasil perhitungan itu. Pardede menyesalkan tindakan pengadilan yang tidak memberikan informasi kepada warga perihal batas waktu gugatan tersebut. Maka dari itu, kata dia, warga setelah itu segera membuat surat penolakan hasil aprisial. "Warga tidak setuju dan buat surat penolakan diatas matrai," katanya.

Namun pihak pengadilan tetap hendak mengekskusi tanah tersebut karena uang ganti rugi sudah dikonsinyasikan atau dititipkan ke Pengadilan Negeri Kota Bekasi pada Oktober 2018. Warga tetap menolak, hingga akhirnya warga melakukan beberapa kali aksi penolakan. Terakhir pada awal april ini sejumlah warga melakukan demonstrasi di dekat lintasan rel di Stasiun Kranji.

Penolakan warga itu bukan tanpa alasan. Menurut Pardede, terdapat bebrapa hal yang dilakukan tim penilai yang tidak sesuai dengan akidah penilaian berdasarkan Standar Penilian Indonesia (SPI). Ada sembilan poin yang seharusnya dihitung, seperti, tanah, rumah, pohon, usaha, dampak psikologi maupun dampak sosial.

Namun, kata Pardede, perhitungan tanah warga hanya dilakukan atas tiga poin, yakni rumah, tanah dan pohon. Selain itu juga terdapat perhitungan jumlah luas lahan yang salah.

"Salah satunya itu seperti ada salah satu tanah yang luasnya 82 meter tapi dihitung tim penilai KJPP Fast malah cuma 78 meter," kata dia.

 

Meski penolakan warga itu telah berlangsung lama, kata dia, namun pihak Balai Teknik Perkeratapiaan tidak menanggapinya. Bahkan, dana hasil perhitungan itu telah dikonsinyasikan atau dititipkan oleh Balai Teknik Perkeretaapian ke Pengadilan Negeri Kota Bekasi pada Oktober 2018.

"Jumlahnya sekitar Rp 8 miliar. Tapi warga tidak megambil sama sekali karena memang perhitungannya tidak adil dan juga sudah tidak relevan lagi nilainya sekarang," kata Pardede.

Pardede pun mengaku sempat menemui tim independen KJPP Fast baru-baru ini untuk menyakan hasil perhitunga tersebut. "Orang tim independen itu sendiri juga mengaku, hasil penilaian pada 2015 memang tidak relevan lagi dengan 2018 apalagi 2019. Karena hasil aprisial itu hanya berlaku selama 6 bulan saja," sebut Pardede.

Berdasarkan serangkaian alasan itulah akhirnya warga, kata Pardede, mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Kota Bekasi pada Januari 2019. Warga menuntut dilakukannya aprisial ulang atas tanah dan semua aset mereka di atas tanah itu.

Sementara itu, Lurah Kalibaru, Suhartono, menyebutkan, pihaknya telah beberapa kali menjembatani warga dengan Dinas Perhubungan agar permasalahan ini bisa diselesaika tanpa harus melalui proses peradilan. "Itu kita sudah berperan untuk mewadahi keinginan warga. Sekitar awal tahun 2018 bebrapa kali kita adakan mediasi antara kedua pihak," sebut Suhartono kepada Republika.co.id, Selasa (16/4).

Namun, upaya mediasi itu menemui jalan buntu, hingga akhirnya warga memilih melalui jalur hukum. Pihak kelurahan pun mempersilahkan warga menempuh jalur itu. Suhartono mengaku akan menunggu hasil keputusan pengadilan terhadap tanah warganya itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement