Senin 15 Apr 2019 18:42 WIB

Menyemai Bibit Spiritualitas Kehidupan Berbangsa

Nilai-nilai Pancasila harus menginternalisasi di dalam kehidupan berbangsa.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir.
Foto: Dokumen.
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Bangsa Indonesia tumbuh dan besar seperti sekarang karena memiliki nilai-nilai dasar yang hidup. Oleh karena itu, bibit-bibit spiritualitas mutlak harus ditanamkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena memiliki peranan yang semakin penting.

Dalam konteks itulah, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir mengingatkan, bahwa agama akan berperan sangat fundamental dalam menanamkan bibit-bibit spiritualitas.

Menurutnya, semua agama memiliki dasar-dasar nilai untuk berbuat serba kebaikan. Baik dalam konteks hubungan dengan Sang Pencipta (habluminallah), maupun dengan sesama (hablumi­nan­nas).

‘’Nilai-nilai itulah yang akhirnya memancarkan keruhanian. Artinya, orang-orang beragama meyakini hal-hal menyangkut iman, metafisik, kesalehan, dan kebaikan,’’ kata Haedar kepada Republika.co.id, Selasa (9/4).

Ia melanjutkan, orang-orang beragama akan berusaha tidak melakukan hal-hal buruk terhadap sesama. Karenanya, nilai-nilai itu menjadi spiritualitas bagi orang Indonesia yang religius.  Dalam tataran formal, masih kata Haedar, bangsa Indonesia memiliki Pancasila sebagai ideologi negara.

Pancasila itulah yang di dalamnya terkandung pula nilai-nilai fundamental berbangsa dan bernegara. "Yang disebut dengan Fundamental Norm, atau menurut Bung Karno disebut Philosophische Grondslag, dasar filosofis negara," tambahnya.

Ada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, nilai Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, nilai Persatuan Indonesia, nilai Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan dan nilai Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Spiritualitas sosial

Ia merasa, nilai-nilai Pancasila ini harus menginternalisasi di dalam kehidupan berbangsa dan berrnegara. Bahkan, harus me­lembaga di dalam penyelenggaraan ne­gara.

Menurutnya,  elit dan warga bangsa itu harus senafas dengan Pancasila. Tidak boleh negara dan bangsa ini, misalkan, mengakui atheisme sebagai sesuatu yang secara konstitusi diberikan hak hidup untuk jadi gerakan.

Artinya lanjut dia, Pancasila harus betul-betul menjadi jiwa yang melekat dari kehidupan warga maupun elit bangsa. Lalu, kebudayaan, yang memiliki nilai-nilai sosial atau nilai-nilai kemasyarakatan.

"Gotong royong, saling hormat menghormati, bekerja sama, itu menjadi contoh-contoh tradisi kehidupan yang telah menimbulkan spiritualitas sosial," ujar Haedar.

Jadi, jika agama melahirkan spiritualitas yang religius, dan Pancasila melahirkan spiritualitas ideologis, kebudayaan melahirkan spiritualitas sosial. Semua itu harus jadi bagian tidak terpisahkan warga dan elit bangsa.

Andai itu yang dijadikan pondasi, Haedar meyakini Indonesia akan jadi bangsa yang memiliki bingkai spiritualitas yang kaya. Bahkan ia meyakini hal tersebut akan menjadi kanal ketika terjadi  per­bedaan atau perselisihan.

Peran ormas

Diakuinya, perbedaan dan perselisihan wajar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Manakala hal itu terjadi, nilai-nilai spiritualitas itulah yang akan menjadi rem, sehingga tidak merusak sendi-sendi berbangsa dan bernegara.

Peran ormas dan tokoh-tokoh agama yang jadi kekuatan moral dalam penanam nilai-nilai kebaikan hidup bagi warga negara akan memiliki peran besar dalam nilai-nilai spiritualitas tersebut.

"Tidak mungkin bangsa ini berjuang melawan penjajah, lalu tidak ada nilai-nilai spiritualitas yang tumbuh dalam kehidupan berbangsa. Di situlah agama me­miliki peran yang fundamental," katanya.

Semangat jihad, yang melekat pada diri umat Islam dalam melawan penjajah hendaknya jangan digeneralisir kedalam pemahaman yang buruk, apalagi dimaknai dalam stigma terorisme.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement