Jumat 12 Apr 2019 20:36 WIB

Tokoh Militer Kini Kuasai Sudan Setelah Presiden Lengser

Tokoh militer Sudan, Ibn Auf sebelumnya mendukung presiden sebelum lengser.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Rakyat Sudan merayakan mundurnya presiden Omar al-Bashir di Khartoum, Sudan, Kamis (11/4). Al-Bashir digulingkan militer setelah 30 tahun berkuasa.
Foto: AP Photo
Rakyat Sudan merayakan mundurnya presiden Omar al-Bashir di Khartoum, Sudan, Kamis (11/4). Al-Bashir digulingkan militer setelah 30 tahun berkuasa.

REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Jenderal Ahmed Awad Ibn Auf telah ditetapkan menjadi ketua dewan transisi Sudan setelah Omar al-Bashir digulingkan dari kursi kepresidenan. Namun, rakyat Sudan menentang pengambilalihan kontrol oleh militer karena hal itu tak sesuai dengan apa yang mereka perjuangkan selama melakukan demonstrasi beberapa pekan terakhir. 

Ibn Auf, pada Kamis (11/4), telah mengumumkan bahwa dewan militer akan memerintah Sudan selama dua tahun. Ia pun menyampaikan bahwa konstitusi telah ditangguhkan dan akan memberlakukan jam malam. Seusai pengumuman tersebut, rakyat Sudan bersumpah akan melanjutkan aksi demonstrasi. 

Baca Juga

Ibn Auf adalah tokoh senior dalam pembentukan militer Sudan. Dia sebelumnya menjabat sebagai kepala staf gabungan dan kepala intelijen militer selama konflik berdarah di wilayah Darfur pada 2003. Menurut PBB, peperangan tersebut menewaskan lebih dari 300 ribu orang. 

Pada 2009, Mahkamah Pidana Internasional mendakwa al-Bashir atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan atas konflik di Darfur. Sementara Ibn Auf disanksi oleh Amerika Serikat (AS) karena perannya dalam mendukung serta mengorganisasi mliisi yang dituding melakukan genosida dalam konflik. Sanksi yang dikenakan berupa pemblokiran aset. 

Setelah pensiun dari militer pada 2010, Ibn Auf mengambil peran diplomatik di Kementerian Luar Negeri Sudan. Dia ditempatkan di pos-pos diplomatik di Mesir dan Oman sebelum akhirnya kembali ke Sudan pada 2015. Kala itu, al-Bashir menunjuknya untuk mengisi posisi menteri pertahanan. 

Pada Februari lalu, setelah gelombang demonstrasi besar-besaran terjadi di Sudan, Ibn Auf berupaya mengambil hati massa dengan menyebut bahwa tuntutan yang suarakan generasi muda di sana dapat diterima dan masuk akal.

Pada 23 Februari, saat demonstrasi merebak ke seluruh Sudan, al-Bashir mengumumkan keadaan darurat. Dia membubarkan pemerintah pusat dan negara bagian, kemudian menunjuk sejumlah tokoh militer sebagai gubernur. Ibn Auf diberi mandat untuk menjadi wakil presiden pertama tanpa meninggalkan posisinya sebagai menteri pertahanan. 

Setelah demonstrasi kian tak terbendeng, militer akhirnya mengumumkan bahwa al-Bashir yang telah memerintah selama 30 tahun, resmi mundur dari jabatannya. Hal itu disambut dengan suka cita oleh rakyat Sudan. 

Namun, kegembiraan hanya berlangsung sementara ketika Ibn Auf menyatakan bahwa pemerintahan akan dipegang dewan militer selama dua tahun mendatang. "Perubahan tidak akan terjadi dengan seluruh rezim Bashir menipu warga sipil Sudan melalui kudeta militer," kata Alaa Salah, anggota terkemuka gerakan protes Sudan, dikutip laman Aljazirah.

Peneliti Sudan dari Yale University, Jean-Baptiste Gallopin mengatakan terlepas dari pelengseran al-Bashir, kekuasaan tetap berada di tangan rekan-rekannya. "Rezim sama seperti kemarin, dengan pengecualian beberapa tokoh dekat al-Bashir yang telah ditahan," ujarnya. 

Sementara Ahmed Soliman dari Chatam House meragukan keberhasilan proses transisi pemerintahan yang dipimpin Ibn Auf. "(Ibn Auf) di antara pemimpin politik yang telah mendukung presiden al-Bashir sejak lama dan untuk seluruh karier pasukannya. Sulit untuk melihat ini sebagai transisi menuju tahap baru pemerintahan inklusif," kata Soliman. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement