Senin 08 Apr 2019 11:03 WIB

Pemilu Israel dan Kesepakatan Abad Ini

Saat Netanyahu terlibat skandal korupsi, muncul Benjamin Gantz.

PBB Tolak Klaim Israel atas Golan
Foto: Republika
PBB Tolak Klaim Israel atas Golan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Smith Alhadar, Penasihat Indonesian Society for Middle East Studies

Pemilihan umum Israel berlangsung pada 9 April. Siapa pun pemenangnya, kemungkinan besar akan kian berdampak buruk bagi nasib Palestina. Yang bersaing adalah pejawat Benjamin (Bibi) Netanyahu dan Benjamin (Benny) Gantz.

Netanyahu dari partai kanan Likud--yang telah mendominasi politik Israel lebih dari dua dekade--berkoalisi dengan partai kanan, ekstremis, sentris, religius, dan sekuler nasionalis.

Mereka akan menghadapi Gantz dari koalisi Biru Putih (warna bendera Israel) yang didukung Partai Buruh dan partai kiri lainnya. Meskipun demikian, Gantz mengklaim dirinya sebagai tokoh kanan juga.

Dalam rangka menarik dukungan, Gantz mengedarkan video-video terkait tindakan keras dan penghancuran terhadap Palestina. Partai-partai kiri memang tengah pudar sehingga politisi Israel enggan mengasosiasikan diri dengan Partai Buruh dan mitra juniornya, Meretz, yang dipandang lemah dan kompromistis dengan Palestina.

Slogan Gantz adalah “Tidak Kiri, Tidak Kanan, Israel di Atas Segalanya”. Meskipun belum berpengalaman dalam pemerintahan, Gantz, jenderal bintang tiga, cukup populer dan berpotensi mengalahkan Netanyahu.

Dalam survei pada akhir Maret, Gantz, yang didukung dua jenderal lainnya, Gabi Ashkenazi dan Moshe Ya’lon, unggul dari Netanyahu. Kampanyenya tentang pemerintahan bersih dan antikorupsi berhasil meningkatkan elektoralnya.

Netanyahu dilemahkan kasus korupsi yang segera menghadapi dakwaan. Melihat sekutunya terancam kalah, Presiden AS Donald Trump berupaya memberikan insentif elektoral pada Netanyahu berupa pengakuan AS atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Guna memeras Palestina lebih jauh, AS menghentikan pasokan dana ke Badan Sosial dan Pekerja PBB (UNRWA) yang mengurus pengungsi Palestina. Ini menununjukkan AS tidak mengakui lagi keberadaan 5,9 juta pengungsi Palestina.

AS juga menutup kantor Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) di Washington. Laporan tahunan tentang HAM oleh Departemen Luar Negeri AS pada 13 Maret secara mengejutkan tidak menyebut Tepi Barat, Yerusalem, dan Dataran Tinggi Golan milik Suriah sebagai “wilayah pendudukan”.

Wilayah-wilayah itu hanya disebut sebagai wilayah yang berada dalam kontrol Israel. Ini sejalan dengan konsep perdamaian “kesepakatan abad ini” yang akan segera diluncurkan AS pascapemilu Israel.

Dalam konsep ini, isu Yerusalem dan pengungsi tidak lagi dinegosiasikan. Tepi Barat hanya diberikan sebagian. Wilayah perbatasan darat dan angkasa Palestina dikontrol Israel.

Pendeknya, Palestina tidak berdaulat dengan wilayah sangat terbatas di Tepi Barat dan Gaza tanpa Yerusalem Timur. Kompensasi diberikan hanya kepada beberapa ratus ribu pengungsi Palestina yang terusir dari kampung halaman mereka di Israel pada 1948.

Sebagai imbalan bagi Palestina, AS bersama negara-negara Arab akan menggelontorkan uang untuk merekonstruksi wilayah Palestina, terutama Gaza. AS melakukan ini dengan melanggar sejumlah resolusi, seperti Resolusi DK PBB Nomor 181, 242, 338, dan 497, yang menuntut Israel mundur dari seluruh tanah Arab yang diduduki pada perang 1967, termasuk Yerusalem Timur, Tepi Barat, dan Golan.

Kebijakan radikal pemerintahan AS di bawah Trump yang telah membunuh aspirasi Palestina ini didorong oleh hal-hal berikut.

Pertama, Washington ingin cepat menyelesaikan isu Palestina yang telah berusia seabad. Presiden Otoritas Palestina Mahmud Abbas yang dalam posisi lemah diharapkan dapat dipaksa menerima “kesepakatan abad ini”.

Kedua, menyusul perang Irak, Arab Spring, munculnya Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS), Perang Yaman, perang proksi di Suriah, Libya, dan krisis Qatar membuat negara Arab terpecah belah. Liga Arab tidak dapat berfungsi.

Ketiga, isu Palestina menjadi penghalang bagi terbentuknya aliansi Arab-Israel untuk menghadapi Iran. Kebetulan Mesir, Yordania, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Bahrain melihat bahaya ancaman Iran jauh lebih mendesak daripada isu Palestina.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement