Senin 08 Apr 2019 11:03 WIB

Pemilu Israel dan Kesepakatan Abad Ini

Saat Netanyahu terlibat skandal korupsi, muncul Benjamin Gantz.

PBB Tolak Klaim Israel atas Golan
Foto:

Keempat, AS tidak lagi bergantung pada minyak Arab. Sejak penemuan minyak serpih (shale oil) di AS dalam jumlah raksasa, sekitar 1,5 triliun-1,8 triliun barel, Washington menjadi leluasa merumuskan kebijakan politiknya di Timur Tengah.

Kelima, demi keperluan elektoral Trump dalam pilpres tahun depan dengan menarik suara Kristen Evangelis, yang berdasarkan alasan biblikal mendukung eksistensi Israel.

Jumlah pengikut Evangelis di AS sebesar 25 persen yang dalam Pilpres AS 2016 menentukan kemenangan Trump. Trump juga berharap dapat menjaga dukungan kelompok Yahudi AS yang didorong oleh Netanyahu.

Sangat mungkin Netanyahu sudah melihat konsep “kesepakatan abad ini” dan menyetujuinya. Ini berdasarkan fakta bahwa kebijakan AS di Timur Tengah disusun triumvirat Yahudi, yaitu David Friedman, Duta Besar AS untuk Israel; Jared Kushner, penasihat politik senior sekaligus menantu Trump; dan Jason Greenblatt, utusan khusus AS untuk Timur Tengah.

Tentu tidak berarti bila Gantz menang, “kesepakatan abad ini” serta-merta ditolak Israel. Gantz, yang tangannya berlumuran darah Palestina pada masa lalu dan sangat bangga dengan apa yang ia lakukan terhadap Palestina, rasanya tidak menolak “kesepakatan abad ini”.

Namun, Trump, yang percaya politik luar negeri dapat lebih efektif bila dijalankan melalui kontak pribadi dengan aktor-aktor politik, tentu telah merasa nyaman dengan Netanyahu yang sudah lama ia kenal dan punya pengaruh besar di Washington.

Sementara itu, dengan Gantz, Trump harus memulai lagi dari nol. Maka, AS akan meluncurkan “kesepakatan abad ini”, siapa pun pemenangnya. Ia yakin Grantz juga akan menyokong kesepakatan yang sangat menghina Palestina dan Arab itu.

Trump juga yakin besarnya pengaruh AS terhadap rezim-rezim Arab atas kelangsungan kekuasaan mereka akan memaksa mereka mendukung apa pun kebijakan yang diambilnya.

Namun, ia keliru. Liga Arab bereaksi menentang penyangkalan AS terhadap Yerusalem dan Golan sebagai milik Palestina dan Suriah. Mahmud Abbas bahkan hingga sekarang memboikot AS sebagai mediator yang tidak jujur.

Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud, yang tadinya diduga menyetujui “kesepakatan abad ini”, berulang kali menegaskan komitmen Riyadh bagi kemerdekaan Palestina dengan batas-batas tahun 1967 dan Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina.

Sikap Liga Arab didukung komunitas internasional. Pasalnya, langkah-langkah AS itu melanggar norma hubungan internasional. Kalau dibiarkan, akan terjadi hukum rimba di pentas internasional, destabilisasi kawasan, dan terancamnya perdamaian dunia.

Siapa pun pemenang dalam kontestasi pemilu Israel, Timur Tengah masih akan bergolak sepanjang “kesepakatan abad ini” dipaksakan kepada Palestina.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement