Ahad 31 Mar 2019 03:00 WIB

Pakar Capres tak Ungkap Kelemahan Konsep Kota Cerdas

Kota cerdas bukan hanya pendaringan layanan publik, tetapi juga implikasinya.

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Ratna Puspita
Capres No 01 Joko Widodo bersama Capres No 02 Prabowo Subianto dan ketua KPU Arief Budiman saat debat keempat Capres 2019 di Hotel Shangri-La, Jakarta, Sabtu (30/3).
Foto: Republika/Prayogi
Capres No 01 Joko Widodo bersama Capres No 02 Prabowo Subianto dan ketua KPU Arief Budiman saat debat keempat Capres 2019 di Hotel Shangri-La, Jakarta, Sabtu (30/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar kebijakan publik dari Universitas Indonesia (UI) Riant Nugroho menyayangkan kedua calon presiden (capres) Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto tidak mengungkapkan kelemahan konsep smart city (kota cerdas) dalam debat keempat, Sabtu (30/3). Salah satu dimensi gelap dari konsep kota cerdas, yaitu kemungkinan jebakan korupsi, kolusi, nepotisme (KKN).

Ia mengatakan jebakan tersebut dikenal sebagai vendor driven policy/project atau kebijakan/proyek yang diarahkan oleh vendor teknologi. Menurut dia, pemahaman smart city bukan semata-mata pada dimensi teknologi, tetapi juga kepentingan-kepentingan bermotif ekonomi yang menunjukkan kedalaman pengetahuan pembuat kebijakan.

Baca Juga

Smart city juga berarti kita menggelar karpet merah bagi pelaku bisnis OTT (over the top) global, sementara pipa-pipa yang dibangun tidak mendapat pengembalian investasi, atau menjadi semacam dump pipe,” ujar dia kata Riant kepada Republika.co.id, Sabtu (30/3).

Dia mengungkapkan, kondisi itu berdampak kolapsnya operator telekomunikasi seperti yang tertulis dalam buku WIKINOMICS karya Don Tapscot. Menurut dia, kondisi itu sudah mulai terjadi di Indonesia, yakni penjualan naik, pendapatan turun, atau yang disebut scissor effect. Karena itu, menurut dia, kota cerdas jangan hanya dipahami sebagai pendaringan layanan publik, tetapi juga implikasi-implikasinya.

Riant menjabarkan, salah satu ciri smart city yang berhasil adalah berkurangnya secara gradual jumlah PNS dengan kecepatan 10-20 persen per tahun. Alasannya, meningkatnya layanan berbasis digital, sehingga berimplikasi diturunkannya biaya pengelolaan pemerintahan atas dasar efisiensi pelayanan publik.

Smart-Citi-sasi diiringi oleh penambahan jumlah PNS dan APBN/D di sektor terkait, menjadi anomali,” kata Riant.

Dia memandang kedua capres berada pada arus besar tren proyek smart-city-sasi yang sedang hangat dan “mudah dijual” daripada menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi. Namun, dia beranggapan, bisa saja kedua capres mengerti implikasi smart city, tetapi para penasihat menyarankan mereka tetap pada koridor pemasaran isu populer yang sangat digemari awam.

Terkait konsep pemanfaatan smart city dalam debat keempat, Riant menilai paparan masing-masing capres benar. Dia menegaskan, kebijakan kota cerdas hanya butuh tiga syarat, yakni pertama, konsep dan strategi 3B (baik, benar, bijaksana).

Kedua, perlu kesiapan infrastruktur, sistem manajemen informasi, perlindungan jaringan, kebijakan perlindungan data warga, SDM pemerintahan/pelayan publik dengan kompetensi dan budaya ICT, dan pemimpin pemerintahan sebagai pembuat kebijakan yang mengerti arah perubahan dan disrupsi digital. Ketiga, kebijakan yang stay ahead the curve atau tetap dalam kurva di depan perubahan.

“Dalam hal ini kedua paslom cukup mengerti tantangan dan agenda tersebut,” ujar Riant. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement