REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menjelang debat keempat Pilpres 2019 yang mengangkat tema pertahanan-keamanan, ideologi, pemerintahan, dan hubungan internasional pada malam ini, ktitikan muncul dari pakar keamanan siber. Kedua capres dinilai belum memberikan konsep jelas terkait keamanan siber di Indonesia.
"Kalau perang fisik memang terlihat lebih menakutkan, tapi bayangkan kalau misalnya suatu hari perang siber terjadi, yang menyebabkan semua data, gawai, komputer tidak bisa berfungsi lagi, bahkan uang di bank pun tidak bisa diambil," kata Pakar Keamanan Siber yang juga Ketua Communication and Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha, Sabtu, (30/3).
Dalam paparannya, Pratama menyebutkan bahwa kerugian indonesia akibat keamanan siber mencapai Rp 483 triliun dan ada kemungkinan bertambah pada tahun ini. Sehingga, perlu perbaikan segera jika Indonesia tidak ingin lebih rugi dari yang terjadi di 2018.
Menurutnya, ketahanan dan keamanan siber nasional merupakan hal yang penting diseriusi pemimpin pada masa ini. Sehingga, perhatian capres terkait teknologi informasi yang hanya berkutat pada Unicorn dan fintech hanya akan membuat Indonesia semakin rentan dalam keamanan sibernya.
Walaupun telah memiliki badan siber khusus, Pratama menjelaskan, bahwa badan siber di Indonesia belum disinergikan dengan institusi pemerintah lain. Sehingga, tugas dan perannya secara konkret dalam menjaga ketahanan siber nasional belum signifikan
"Dibentuk tahun 2018 tapi tida dapat angvaran, pada tahun 2019 ini juga belum dilibatkan secara formal dalam pemilu kan jadi nggak jelas," tutur Pratama.
"Intinya harus ada security awareness dari pemerintah," jelas Pratama.
Saat ini Indonesia berada di urutan 83 dalam urusan keamanan siber. Urutan itu di bawah Ghana, Vietnam, juga negara tetangga Malaysia.