Kamis 21 Mar 2019 12:56 WIB

Idrus Marham Dituntut 5 Tahun Penjara

Jaksa menilai Idrus Marham terbukti bersalah dalam kasus suap proyek PLTU Riau-1.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Andri Saubani
Terdakwa kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1 Idrus Marham mendengarkan pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum KPK di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (21/3/2019).
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Terdakwa kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1 Idrus Marham mendengarkan pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum KPK di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (21/3/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Terdakwa perkara suap proyek PLTU Riau-1 dengan terdakwa Idrus Marham, dituntut 5 tahun penjara oleh jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Idrus juga dituntut membayar denda Rp 300 juta subsider 4 bulan kurungan.

"Kami menuntut supaya majelis hakim menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi," ujar jaksa Lie Putra Setiawan saat membacakan tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (21/3).

Baca Juga

Dalam tuntutannya, mantan Sekertaris Jenderal Partai Golkar itu terbukti menerima suap Rp 2,250 miliar. Uang tersebut diberikan oleh pengusaha sekaligus salah satu pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo.

Masih dalam tuntutan, uang tersebut  diduga agar mantan Wakil Ketua Komisi VII Eni Maulani Saragih membantu Kotjo mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1.

Proyek tersebut rencananya akan dikerjakan PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Company Ltd yang dibawa oleh Kotjo. Awalnya, Kotjo melalui Rudy Herlambang selaku Direktur PT Samantaka Batubara mengajukan permohonan dalam bentuk IPP kepada PT PLN Persero terkait rencana pembangunan PLTU.

Namun, karena tidak ada kelanjutan dari PLN, Kotjo menemui Ketua DPR sekaligus Ketua Umum Partai Golkar saat itu yakni Setya Novanto. Kepada Novanto, Kotjo meminta bantuan agar dapat dipertemukan dengan pihak PLN. Menyanggupi permintaan Kotjo, Novanto mengenalkan Kotjo dengan Eni yang merupakan anggota Fraksi Golkar yang menaungi Komisi  VII DPR, yang membidangi energi.

Setelah itu, Eni pun melakukan pertemuan antara Kotjo dan pihak-pihak terkait, termasuk Direktur Utama PLN Sofyan Basir. Hal itu dilakukan Eni untuk membantu Kotjo mendapatkan proyek PLTU. Menurut jaksa, penyerahan uang dari Kotjo kepada Eni atas sepengetahuan Idrus Marham. Saat itu, Idrus menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum Golkar, lantaran Setya Novanto tersangkut kasus korupsi pengadaan KTP-elektronik (KTP-el).

"Maka terdakwa sebagai Plt Ketua Umum saat itu, Eni menyampaikan kepada terdakwa akan menerima fee dari Kotjo 2,5 persen berasal dari proyek akan diterima dari Kotjo. Pemberitahuan Eni, terdakwa meminta Eni selaku Bendahara Munaslub meminta uang untuk pelaksanaan karena ada rencana terdakwa akan diusung untuk menggantikan Setya Novanto Ketum Golkar," tutur Jaksa Lie.

Setelah itu, Idrus mengarahkan Eni untuk meminta uang 2,5 juta dolar AS kepada Kotjo. Uang itu digunakan untuk keperluan Munaslub Golkar, di mana Eni menjabat Bendahara Munaslub. Mantan Menteri Sosial itu juga disebut meminta agar Kotjo membantu keperluan pendanaan suami Eni Maulani saat mengikuti pemilihan kepala daerah.

Adapun dalam pertimbangan Jaksa KPK terdapat hal yang meringankan dan memberatkan. Untuk yang meringankan, Idrus bersikap sopan selama persidangan. Ia juga belum pernah dipidana. Selain itu, Idrus tidak menikmati hasil pidana yang dilakukan. Sementara hal yang memberatkan, jaksa menilai perbuatan Idrus tidak mendukung pemerintah dalam memberantas korupsi. 

Usai menjalani persidangan, Idrus mengaku kecewa dengan tuntutan Jaksa KPK. Menurut Idrus, tuntutan yang diajukan Jaksa KPK sama persis dengan dakwaan dan tidak sesuai dengan keterangan para saksi di persidangan.

"Saya sampaikan di awal bahwa dakwaan itu prinsip-prinsip dasar dengan dugaan kepada saya dalam perkara dan ini diuji di persidangan jadi fungsi persidangan menguji dakwaan itu. Apakah dakwaan itu benar atau tidak diuji dipersidangan ini.  Nah kalau tuntutannya adalah copy paste dari dakwaan, itu nanti pakar-pakar hukum di Indonesia bisa menjelaskan, civitas akademika bisa memahas masalah ini, loh," tutur Idrus di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Ia pun menyatakan, bila memperhatikan fakta-fakta di persidangan sangatlah jauh berbeda dengan tuntutan atas dirinya. "Kalau memperhatikan fakta-fakta tadi, sangat jauh, contohnya saya bersama-sama menerima, malah uang saya dipinjam Eni kok, haha, ya sudahlah Eni sudah mengakui. Eni pinjam uang," ucapnya.

Senada dengan Idrus, kuasa hukum Idrus, Samsul Huda juga mengungkapkan hal yang sama. Ia juga mengaku kaget dengan tuntuntan Jaksa KPK.

"Dakwaan itu kan menyangka, kalau tuntutan itu telah diuji dalam persidangan fakta-fakta persidangan, itu yang kami kaget kok masih seperti persidanagn Kotjo atau Eni. Jadi kita agak kecewa saja, kenapa nggak menggunakan fakta di persidangan Idrus," tutur Samsul.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement