Selasa 19 Mar 2019 05:00 WIB

200 Hari Perbaiki BPJS, BPN: Sandi Sudah Ada Solusi

Persoalan defisit anggaran BPJS akan diselesaikan dalam 200 hari kerja

Cawapres No 02 Sandiaga Uno saat mengikuti debat Cawapres Pilpres 2019 di Jakarta, Ahad (17/3).
Foto: Republika/Prayogi
Cawapres No 02 Sandiaga Uno saat mengikuti debat Cawapres Pilpres 2019 di Jakarta, Ahad (17/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cawapres Sandiaga Uno dalam debat cawapres menjanjikan penyelesaian persoalan BPJS dalam 200 hari. Sandi berani menjanjikan ini karena sudah memiliki garis besar penyelesaiannya.

Anggota Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Dradjad Wibowo mengatakan, dalam debat cawapres, Sandi berhasil tampil sebagai Cawapres yang muda, cerdas, energetik, visioner dan mampu memimpin. Dari debat terlihat, kalau Prabowo-Sandi terpilih maka Sandi tidak hanya akan menjadi Wapres ban serep.

"Soal substansi, saya mulai dulu dengan BPJS Kesehatan. Kenapa? Karena terkait dengan berbagai macam kartu yang dijanjikan pasangan 01, termasuk kartu Pra-Kerja," kata Dradjad, kepada republika.co.id, Senin (18/3).

Dalam debat, menurut Dradjad, Sandi mengungkapkan persoalan defisit anggaran BPJS, yang berujung pada terganggunya pelayanan kesehatan. Sandi menjanjikan menyelesaikan masalah itu dalam 20 hari saja.

Menurut Dradjad, hal ini karena Prabowo-Sandi sudah memiliki konsep yang jelas. Dikatakannya, akan ada reformasi signifikan dalam pembiayaan kesehatan. "Ada sejumlah komponen utama yang disiapkan," kata Dradjad,

Aturan umunya menurut Dradjad, membuat peraturan untuk mencegah adverse selection, moral hazard dan principal-agent problem yang terjadi dalam asuransi kesehatan dan pemberian layanan kesehatan.

Prabowo-Sandi akan melakukan penyempurnaan peraturan asuransi kesehatan terkait BPJS. Adapun rinciannya sangat banyak. Kata Dradjad, ada pengaturan keterkaitan antara premi dengan jaminan pelayanan kesehatan dasar (essential health benefits).

"Ada pengaturan premi dan benefits yang disesuaikan dengan gaya hidup dan risiko kesehatannya, misalnya untuk penggowes, perokok dan sebagainya," jelas Dradjad.

Selain itu tentang pengaturan mengenai pembiayaan kesehatan dengan pembayaran sendiri. Dikatakannya, banyak keluarga mampu yang memilih membayar sendiri dari pada memakai layanan BPJS. Namun banyak juga keluarga mampu yang berlebihan memakai layanan kesehatan elektif, yang dibebankan kepada BPJS Kesehatan.

Hal lain, kata Dradjad, mengenai penataan ulang pembiayaan setiap jenis layanan kesehatan. Prabowo-Sandi menyadari pelayanan medis itu mahal. Alat-alat kesehatan modern itu mahal.

"Jadi pemerintahan Prabowo-Sandi akan terus-menerus berdiskusi intensif dengan para dokter, rumah sakit, akademisi dan sebagainya. Tujuannya, agar peraturan yang dibuat selalu adil dan sesuai data terbaru," papar politikus PAN ini.

Hal yang takkalah penting, menurut Dradjad, adalah bauran kebijakan di bidang terkait. Misalkan insentif pajak dan bea masuk untuk beberapa alat medis, kebijakan cukai, pembiayaan kesehatan provinsi dan kabupaten, dan berbagai bidang lain.

Solusi tersebut, menurut Dradjad untuk menyelesaian persoalan BPJS. Dalam pandangan Dradjad, pemerintah terlihat tidak punya solusi permanen terhadap masalah defisit BPJS Kesehatan. "Saat ini defisit tersebut ditutup dengan suntikan dana APBN melalui skema Penyertaan Modal Negara," papar ekonom INDEF ini.

Pada tahun 2014, kata Dradjad, defisitnya ditutup dengan sisa pengalihan sebagian aset dari PT Askes dan PT Jamsostek. Setelah itu, defisitnya ditutup APBN sebesar Rp 5 triliun (2015), Rp 6,8 triliun (2016), Rp 3,6 triliun (2017), dan Rp 10,25 triliun (2018). "Sekarang masih ada defisit Rp 6 triliun lebih dan naik kembali," ungkapnya.

Adapun defisit 2018 pun baru ditutup pada 24 September dan 5 Desember. Jadi sudah suasana Pilpres. Itu pun setelah tunggakan BPJS kesehatan makin meledak.

"Semua stakeholders menjerit, baik pasien, tenaga medis, dokter, rumah sakit, perusahaan farmasi, hingga para akademisi. Semua pelaku kedokteran umum, kedokteran gigi dan kesehatan masyarakat menjerit," ungkap Dradjad.

Pemerintah saat ini, menurutnya, kehabisan akal. Padahal total suntikan APBN sudah mencapai Rp 25,65 triliun. Jika defisit ini terus ditutup APBN maka akan jelek secara fiskal. Sementara kalau menaikkan premi, rakyat bisa marah.

"Jika membiayai BPJS Kesehatan saja kedodoran, bagaimana dengan berbagai kartu baru yang dijanjikan? Kartu lama saja kedodoran juga," kata Dradjad.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement