Rabu 13 Mar 2019 19:01 WIB

KPK Serahkan Dokumen Stratnas Pencegahan Korupsi ke Presiden

KPK menyoroti transparansi negara soal pengukuran kawasan hutan.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Muhammad Hafil
Ketua KPK Agus Rahardjo saat mendatangi Gedung KPK, Jakarta, Senin (21/12).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Ketua KPK Agus Rahardjo saat mendatangi Gedung KPK, Jakarta, Senin (21/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara resmi menyerahkan dokumen Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara, Rabu (13/3). Stranas Pencegahan Korupsi merupakan hasil perumusan dari Tim Nasional Pencegahan Korupsi yang terdiri dari KPK, KSP, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Bappenas, dan Kementerian PAN dan RB.

Presiden kemudian memerintahkan para pimpinan di kementerian, lembaga, dan pemda untuk menjalankan seluruh rencana aksi yang tertuang dalam Stranas PK.

Baca Juga

Ketua KPK Agus Rahardjo menjelaskan bahwa dokumen Stranas PK merupakan wujud kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi.

Agus menyebutkan, ada tigal hal yang menjadi fokus Timnas PK dalam mengupayakan pencegahan korupsi di kementerian, lembaga, hingga pemda. Ketiganya adalah perizinan, tata niaga, dan penegakan hukum.

Di bidang perizinan, KPK menyoroti dua hal yang perlu diintegrasikan yakni OSS (Online Single Submission) atau Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik, serta Perizinan Terpadu Satu Pintu (PTSP). KPK meminta agar OSS tidak hanya menyasar Pemda tapi juga kementerian-kementerian di pusat. Misalnya, ujar Agus, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) masih memiliki program dan kegiatan yang perlu disinergikan dengan OSS.

Soal perizinan, KPK juga menyoroti transparansi negara menyangkut pengukuran kawasan hutan, kebijakan satu peta, serta kebijakan pemerintah dalam mengurai tumpang tindih pemberian izin atas pemanfaatan lahan.

Lantas soal keuangan negara, KPK mendorong agar antarkementerian bisa lebih 'ramping' dalam melakukan e-planning dan e-budgeting, alias perencanaan secara elektronik dan penganggaran secara elektronik. Agus melihat bahwa masih ada tumpang tindih kebijakan antarkementerian yang sebetulnya memiliki tujuan yang sama.

"E-planning dan e-budgeting harus diintegrasikan dengan e-procurement. Jadi kami harap dalam e-procurement bisa kembangkan industri," kata Agus di Istana Negara, Rabu (13/3).

Fokus ketiga yakni penegakan hukum. Agus melihat bahwa masing-masing kementerian dan lembaga di pemerintahan sudah memiliki sistem informasi namun belum terkoordinasi dengan baik. Misalnya saja, Kemenkumham memiliki sistem informasi soal lembaga pemasyarakatan (lapas), namun kepolisian masih belum memiliki data akurat soal narapidana yang overstay.

"Tidak kalah penting, saya laporkan reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi sangat penting dan kami berharap tidak ada penambahan organisasi baru. Kalau pun ada, coba dilihat yang ada hari ini apa," kata Agus. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement