Rabu 13 Mar 2019 08:55 WIB

Perjanjian Pengambilalihan Kelola Air Belum Disepakati

Pemprov diminta bersikap tegas ambil alih pengelolaan air secara keseluruhan.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Bilal Ramadhan
Pengelolaan air Palyja
Foto: Republika/Wihdan
Pengelolaan air Palyja

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berkomitmen mengambil alih pengelolaan air minum sejak satu bulan lalu pada 11 Februari 2019. Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan mengatakan, pihaknya masih membutuhkan waktu tambahan untuk membicarakan beberapa hal teknis.

"Kemarin kita rapat ada beberapa hal teknis yang perlu waktu ekstra. Nanti sesudah itu lengkap, kita umumkan," kata Anies di Balai Kota, Jakarta Pusat, Selasa (12/3).

Di sisi lain, ia mengatakan, Pemprov DKI berencana membangun infrastruktur penyediaan air bersih bagi warga ibu kota. Ia menuturkan akan membangun sambungan perpipaan air bersih yang belum menyeluruh kepada warga Jakarta sebesar 40 persen.

"Kita harus membangun infrastruktur sambungan 40 persen yang sisa itu yang mau dibangun," kata Anies.

Sebelumnya, Anies menargetkan PAM Jaya untuk segera menyelesaikan head of agreement (HoA) selama satu bulan sejak 11 Februari. Namun, hingga kini, PAM Jaya belum dapat menyelesaikan kesepakatan head of agreement (HoA) dengan kedua mitranya, yakni PT Aetra Air Jakarta (Aetra) dan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja).

"Belum. Ya lagi dibahas enggak bisa di ini, kita intenslah. Di sisi lain, saya juga kita melaporkan kepada tim. Kita harap secepatnyalah," ujar Direktur Utama PAM Jaya, Priyatno Bambang Hernowo.

HoA yang dimaksud merupakan kesepakatan awal antara PAM Jaya dan pihak swasta terkait pengambilalihan pengelolaan air. Sebelum kesepakatan itu diteruskan dengan revisi kerja sama yang lebih konkret selanjutnya.

Bambang pun mengatakan, pihaknya mengusahakan agar finalisasi HoA bisa disepakati Maret ini. Ia memaparkan, negosiasi yang dilakukan PAM Jaya terhadap Palyja dan Aetra berdasarkan tiga opsi hasil kajian Tim Tata Kelola Air Pemprov DKI Jakarta.

Opsi-opsi itu berdasarkan proses pengkajian selama enam bulan dalam masa penugasan tim tata kelola air. Bambang mengatakan, pihaknya direkomendasikan untuk mengambil opsi-opsi yang ditawarkan tersebut.

Ada tiga langkah kebijakan yang dapat diambil oleh Pemprov DKI Jakarta, yakni membiarkan kontrak selesai hingga 2023, pemutusan kontrak kerja sama antara PAM Jaya dan pihak swasta terkait serta pengambilalihan melalui tindakan perdata.

Namun, Bambang belum bisa memastikan mengarah ke opsi mana dalam negosiasi yang sedang dilakukannya itu. Ia mengaku, pihaknya membicarakan semua opsi dari tim tata kelola air dengan Palyja dan Aetra. "Opsi tim tata kelola seperti itu ya jadi kita bicarakan dengan mitra seperti itu sih," kata dia.

Ia menambahkan, melalui negosiasi dan rencana pengambilalihan ini, Pemprov DKI menargetkan cakupan layanan air bersih di DKI Jakarta mencapai 100 persen pada 2030. Nantinya ketika pengelolaan air bersih sepenuhnya dikelola PAM Jaya, harga pelayanan penyediaan air bersih menjadi lebih rendah dari harga yang saat ini berlaku.

Direktur Amrta Institute yang juga anggota Tim Evaluasi Tata Kelola Air Jakarta Nila Ardanie menuturkan, pihaknya terbuka untuk diskusi. Terkait hasil kajiannya terhadap rencana pengambilalihan pengelolaan air tersebut. "Silakan kami terbuka untuk diskusi," ujar Nila kepada Republika.

Ia pun menanggapi desakan agar Pemprov DKI mengambil alih pengelolaan air dari pihak swasta seluruhnya. Ia mengatakan, memang salah satu opsi yang direkomendasikan tim tata kelola air ialah pengambilalihan sepenuhnya. Akan tetapi, saat ini semua proses opsi-opsi yang ditawarkan masih dalam tahap uji tuntas atau due diligence.

Ia menambahkan, dalam opsi pertama, masa kontrak pihak swasta hanya tinggal empat tahun sehingga kecil kemungkinan kedua perusahaan swasta mau berinvestasi dalam jumlah besar. Kemudian, prosedur yang akan dilalui oleh pemprov sendiri dan PAM Jaya kalau mau ikut masuk untuk membantu peningkatan layanan juga tidak mudah.

Artinya, penyertaan modal daerah (PMD) tak bisa dioptimalkan mengingat adanya kerja sama dengan swasta. Pihaknya mengkaji, bila pemprov mengambil opsi ini, kemungkinan pemprov akan mengalami kerugian sebanyak Rp 6,7 triliun pada Palyja dan tambahan Rp 1,8 triliun pada Aetra.

Dia melanjutkan, opsi kedua, yaitu pemutusan kontrak saat ini juga, dan sesegera mungkin, serta secara sepihak. Nila mengatakan, opsi itu bukan pilihan yang cukup baik. Sebab, pemprov juga harus memperhatikan iklim bisnis di Jakarta dan Indonesia.

Lalu, opsi ketiga, yaitu pengambilalihan melalui tindakan perdata. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan, yaitu dengan membeli saham Palyja ataupun Aetra. Meski, menurutnya, perlu proses pembicaraan yang juga tidak mudah.

“Namun, tentunya harus ada uji tuntas dulu sehingga prosesnya bisa transparan. Semuanya juga (harus) tahu berapa sebetulnya nilainya, kemudian prosesnya,” ujar Nila.

Masih ada dua opsi lainnya yang direkomendasikan oleh Tim Tata Kelola Air, yaitu menggunakan perjanjian kerja sama yang mengatur mengenai penghentian kontrak. Kemudian ia mengatakan, opsi terakhir, adalah pengambilalihan sebagian layanan. Artinya, pemprov bisa mengambil alih sebagian layanan seperti instalasi pengolahan dan distribusi sebelum masa kontrak berakhir pada 2023 mendatang.

Sementara, pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora, terus mendorong Pemprov DKI untuk mengambil alih pengelolaan air secara keseluruhan. Menurut dia, Pemprov harus berani mengambil risiko, termasuk kemungkinan kerugian dari segi bisnis.

"Sebenarnya bisa untuk bayar ganti rugi itu, uangnya ada. Menurut saya sih lebih baik ambil alih semuanya, bayar ganti rugi, kelar urusan," kata Nelson.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement