Selasa 12 Mar 2019 19:51 WIB

SMRC: Angka Golput tidak Dapat Diprediksi

Survei SMRC menyebut ada 13 persen masyarakat yang belum menentukan pilihan.

Rep: Muhammad Riza Wahyu Pratama/ Red: Andri Saubani
Ilustrasi Golput
Foto: Antara
Ilustrasi Golput

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Program SMRC (Saiful Mujani Research & Consulting), Sirojudin Abbas mengatakan, angka golput tidak bisa diprediksi. Berdasarkan Survei SMRC, setidaknya terdapat 13 persen masyarakat yang belum menentukan pilihan, Selasa (12/3).

"Kita tidak bisa memprediksi berapa jumlah yang tidak berpartisipasi dalam pemilu. Sebagai ilmuwan sosial kita tidak bisa memprediksi terlalu jauh. Pemilu masih satu bulan lebih," kata Abbas di kantor SMRC, Jalan Kusuma Atmaja, Menteng, Jakarta Pusat.

Ketika disinggung soal angka golput yang cenderung turun. Lulusan Ph.D. University of California Berkeley itu tetap menjelaskan hal yang sama, angka golput selama ini tidak mampu menunjukkan kecenderungan golput dalam pemilu 2019. "Angka partisipasi dalam pemilu selalu naik. Tapi, angka non-partisipasi nantinya, tetap tidak dapat diperkirakan," kata Abbas.

Ia menambahkan, angka riil golput bisa diketahui saat pemilu nanti, setidaknya pada saat hitung cepat. Sampai saat ini, elektabilitas pasangan 01 mencapai 54,9 persen, sedangkan 02 mencapai 32,1 persen. Terdapat 13 persen sisanya belum memiliki pilihan.

"Angka 13 persen yang belum memiliki pilihan masih dapat berubah. Pada saat pemilu nanti, mereka dapat memilih 01 ataupun 02. Sampai saat ini selisih antara 01 dan 02 masih lebih dari 20 persen," kata Abbas.

Dalam dua pemilu terakhir angka golput pemilu cenderung turun. Pada pemilu 2009, angka golput mencapai 29,01 persen. Sedangkan pada tahun 2014. Angkanya mencapai 24,89 persen.

Sirojudin Abbas mengatakan, perlu kehati-hatian dalam menyebut golput. Menurutnya, golput merupakan istilah dalam negara otoriter. Istilah itu tidak tepat digunakan karena Indonesia merupakan negara demokrasi yang baik, Selasa (12/3).

"Hati-hati dalam menyebut golput. Golput itu biasanya digunakan di negara tidak demokratis atau otoriter. Indonesia adalah negara Demokratis. Sejak reformasi, Indonesia sudah menerapkan pemerintahan yang transparan," kata Abbas.

Ia menjelaskan, dalam negara otoriter, golput digunakan sebagai sarana menyalurkan aspirasi ataupun protes. Pasalnya, mereka tidak memiliki akses dalam berpolitik.

Kemudian ia menambahkan, dalam menghindari kata golput sebaiknya digunakan kata non-partisipasi. Menurutnya kata tersebut lebih tepat, agar tidak menimbulkan persepsi yang keliru.

Di sisi lain, Direktur Program SMRC itu menuturkan, angka non-partisipasi tidak dapat diprediksi. Pasalnya, pemilih yang sudah terdaftar belum tentu menggunakan hak pilihnya. Menurut Abbas, ada sebagian masyarakat yang tidak sempat mengubah TPS-nya karena alasan tertentu.

"Kita tidak bisa melakukan survei untuk memprediksi golput. Hal itu sama dengan memprediksi, besok mau makan di warteg yang mana? Tentu sulit dijawab. Ada banyak kalangan yang kesulitan untuk mengikuti pemilu, mereka tidak sempat mengubah TPS karena mereka sedang bertugas," kata Abbas.

Selanjutnya, Sirojudin Abbas mengatakan, jumlah pemilih yang belum menentukan pilihan tidak bisa disimpulkan sebagai golput. Pasalnya banyak orang masih ingin melihat perkembangan ke depan. "Banyak orang ketika ditanya mau memilih siapa, mereka bilang masih ingin melihat perkembangan bagaimana nantinya," kata Abbas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement