Selasa 12 Mar 2019 16:41 WIB

Kasus Robet Berlanjut, Kejaksaan Terima SPDP dari Polri

Robertus Robet sempat ditangkap atas tuduhan menghina TNI.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Andri Saubani
Aktivis HAM yang juga dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robet (ketiga kiri) didampingi Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo (ketiga kanan) memberikan keterangan pers usai menjalani pemeriksaan di Bareskirm Mabes Polri, Jakarta, Kamis (7/3/2019).
Foto: ANTARA FOTO
Aktivis HAM yang juga dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robet (ketiga kiri) didampingi Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo (ketiga kanan) memberikan keterangan pers usai menjalani pemeriksaan di Bareskirm Mabes Polri, Jakarta, Kamis (7/3/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Aparat hukum tidak menghentikan perkara dugaan penghinaan terhadap institusi Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dilakukan akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Robertus Robet. Penolakan tersebut dengan terbitnya Surat Dimulainya Penyidikan Perkara (SPDP) keluaran penyidik di Kepolisian kepada Kejaksaan, tertanggal Senin, 11 Maret 2019.

Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Mukri mengatakan, SPDP tersebut diterbitkan oleh penyidik di Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri. Menurut dia, Kejaksaan, baru menerima SPDP tersebut, pada Selasa (12/3).

Baca Juga

“Dengan SPDP ini, kami di Kejaksaan akan menerbitkan surat perintah penunjukan Jaksa Penuntut Umum (JPU),” kata dia di Jakarta, Selasa (12/3).

Mukri menerangkan, penunjukan JPU lewat peran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) di Kejaksaan Agung. “Akan ditunjuk tiga JPU nantinya,” terang Mukri.

Tiga JPU tersebut, dengan SPDP dan surat penunjukan perintah penuntutan dari Jampidum, akan mengikuti perkembangan penyidikan yang saat masih di ranah Kepolisian. “Selanjutnya kita menunggu kiriman berkas perkara penyidikan untuk yang bersangkutan (Robertus Robet),” sambung Mukri.

Jika berkas perkara tersebut lengkap, JPU selanjutnya akan menunggu perintah pengadilan negeri, untuk dibacakan dakwaan di hadapan Majelis Hakim. Namun andai sebaliknya, JPU bisa saja mengembalikan berkas perkara penyidikan ke Kepolisian lantaran tak memenuhi syarat formil, atau materil dari yang disangkakan.   

Robertus Robet, ditangkap Kepolisian pada Kamis (7/3) dini hari di kediamannya di Depok, Jawa Barat (Jabar). Setelah melewati introgasi selama lebih dari 12 jam di Dittipsiber Bareskrim Mabes Polri, penyidik membolehkan aktivis kelahiran 1972 itu pulang. Meski banyak aktivis dan pegiat hak asasi mendesak Kepolisian agar dibebaskan, namun Kepolisian keukeuh menetapkan Robet sebagai tersangka.

Menengok SPDP Kepolisian kepada Kejaksaan, diterangkan sangkaan terhadap Robet. Penyidik menyangka Robet dengan empat tuduhan berlapis. Yaitu terancam Pasal 45 A ayat  (2) juncto Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19/2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan, atau Pasal 14 ayat (2) juncto Pasal 15 Undang-Undang 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan, atau Pasal 207 KUH Pidana.

Semua sangkaan tersebut, sebetulnya terkait dengan aksi yang dilakukan Robet pada Kamis, 28 Februari lalu. Ketika itu, di sekitar kawasan Istana Negara, dalam orasi aksi Kamisan, Robet menyanyikan mars plesetan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Dalam nyanyiannya, Robet mengatakan, “Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Tidak Berguna. Bubarkan Saja. Diganti Menwa. Atau Pramuka.”

Mars plesetan tersebut tersebar ke media sosial dan ke grup-grup WhatsApp dalam bentuk video pendek. Kepolisian menganggap, aksi Robet tersebut, sebagai penghinaan terhadap institusi resmi negara.

Aksi Robet tersebut, juga dianggap sebagai bentuk permusuhan dan propaganda negatif terhadap kekuasaan resmi. Penerapan UU ITE, lantaran aksi Robet tersebut tersebar ke khalayak. Robet terancam hukuman penjara satu setangah tahun jika terbukti di pengadilan.

Namun dalam penjelasannya, Robet pernah mengatakan, aksinya tersebut sebetulnya bentuk kritik terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Meski ia mengakui melakukan aksi tersebut, tetapi kata Robet aksi tersebut sebagai reaksi penolakan masyarakat atas rencana presiden yang akan menempatkan perwira aktif militer di birokrasi sipil. Rencana tersebut, menurut Robet, akan mengembalikan konsep dwifungsi ABRI dari zaman orde baru.

Juru Bicara Mabes Polri, Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo membenarkan status hukum Robet masih tersangka dan belum dihentikan. “Sampai hari ini, kasus yang bersangkutan masih terus berproses sesuai ketentuan dan prosedur hukum yang berlaku,” kata dia di Divisi Humas Polri, Jakarta, pada Selasa (12/3).

Desakan masyarkat agar kasus Robet tersebut dihentikan, kata Dedi sebetulnya tergantung pada penyidikan. “Penyidik masih bekerja melakukan pemberkasan,” terang dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement