Ahad 03 Mar 2019 21:23 WIB

JPPR Nilai Caleg 'Malas' Kampanye Dialogis

JPPR menilai pengetahuan masyarakat terhadap caleg masih rendah

Rep: Bayu Adji P/ Red: Bayu Hermawan
Warga memasukan surat suara ke kotak suara. (Ilustrasi)
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Warga memasukan surat suara ke kotak suara. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) menilai pengetahuan masyarakat terhadap calon anggota legislatif masih sangat rendah. Salah satu penyebabnya, karena caleg dinilai kurang melakukan kampanye dialogis.

Padahal, menurut Manajer Pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Alwan Ola Riantoby, dalam Pamilu 2019 para calon diberi waktu kampanye yang panjang, yaitu sekitar delapan bulan. Menurutnya, rendahnya tingkat pengetahuan pemilih kepada caleg disebabkab minimnya proses kampanye yang dilakukan.

Baca Juga

"Mereka lebih sering menyebarkan bahan kampanye ketimbang kampanye dialogis. Akibatnya pemilih cenderung untuk tidak melihat dan tak bisa mengakses profil caleg," katanya saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (3/3).

Selain itu, jumlah caleg yang begitu banyak menyebabkan pemilih bingung untuk menentukan. Ia mencontohkan, di daerah pilih Jakarta Timur, satu partai politik rata-rata memiliki 10 caleg. Artinya? Ada sekitar 160 caleg yang akan memperebutkan suara di daerah itu. Akibatnya, pemilih kebingungan untuk mengenal lebih jauh para caleg yang akan dipilih.

Alwan melanjutkan, proses pemilu yang dilakukan serentak membuat masyarakat cenderung lebih menikmati kontestasi Pemiliha Presiden (Pilpres). Nuansa kampanye Pemilihan Legistlatif (Pileg) tertutup oleh himgar bingar kampanye calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

"Kita melakukan pemantauan, ada beberapa caleg yang dalam delapan bulan hanya 3-4 kali kampanye dialogis. Kebanyakan cukup menyebarkan bahan kampanyenya atau ikut dalam kampanye Pilpres," ujarnya.

Alwan menegaskan, jika tak ada perubahan dalam detik akhir kampanye, angka golongan putih (golput) akan meningkat. Selain itu, pemilih mengambang yang jumlahnya sangat banyak, kemungkinan hanya menyalurkan suaranya pada partai, tak spesifik untuk caleg. "Kalau ditentukan partai, dalam konsep suara rakyat akan ditentukan partai. Esensi pemilu itu kan rakyat datang ke tps untuk memilih langsung. Tapi kan yang menentukan jadi partai," jelasnya.

Ia berharap, para caleg dapat lebih memberikan pendidikan politik dengan banyak turun langsung berkampanye ke masyarakat. Dengan begitu, masyarakat akan menjadi pemilih yang rasional yang mengenal caleg bukan hanya dari partai, melainkan program dan latar belakang individunya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement