Sabtu 02 Mar 2019 19:55 WIB

Pengamat: Hoaks tak Pengaruhi Swing Voters

Karakteristik swing voters termasuk kategori pemilih yang cukup rasional.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Andri Saubani
Pengamat politik Adi Prayitno (kanan).
Foto: mpr
Pengamat politik Adi Prayitno (kanan).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Politik dari UIN Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno mengatakan, berita hoaks atau berita bohong tidak cukup efektif meraih suara swing voters dalam kontestasi pemilihan umum presiden (pilpres) 2019. Sebab, menurut dia, karakteristik swing voters termasuk kategori pemilih yang cukup rasional.

"Hoaks itu sebenarnya hanya ingin mengacaukan suasana dan tidak terlampau efektif untuk swing voters," ujar Adi kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (2/3).

Ia menjelaskan, swing voters memandang kandidat berdasarkan substansi dengan rekam jejak dan apa yang dibicarakannya. Adi mengatakan, mereka tidak cukup terpengaruh dengan adanya berita hoaks, propaganda tidak jelas, serta isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Sementara, hoaks dinilai lebih banyak bergaung di dalam ruangan yang tidak berpengaruh signifikan terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden itu sendiri. Adi menyampaikan, hal itu terlihat dari tidak signifikannya perubahan beberapa hasil survei peraihan suara terhadap dua kandidat selama enam bulan ini.

"Jokowi angkanya cuma 54 persen, Prabowo di cuma angka 30 persen. Padahal berita hoaks, isu SARA ini hampir enam bulan enggak ada untungnya buat mereka, stuck," kata Adi.

Menurutnya, dampak dari berita hoaks, ujaran kebencian, dan politik identitas tidak ada implikasi bagi peraihan suara kedua kandidat. Baik terhadap pasangan calon nomor urut 01 Joko Widodo-KH Maruf Amin maupun Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

"Apa yang mengimplikasi dari itu semua hanya orang ribut di mana-mana, ruang medsos, ruang nyata. Itu artinya politik hoaks, politik identitas ini hanya bergumam di ruangannya sendiri di masing-masing kedua kandidat ini dan tidak menggeser swing voters," jelas Adi.

Pusat Kajian Politik (Puskapol) UI juga mencermati masa kampanye yang terlah berlangsung selama enam bulan terakhir ini. Menurut pengamatan Pukapol UI publik sudah menunjukkan respons negatif terhadap maraknya isu-isu non-programatik dalam kampanye yang cenderung mengkapitalisasi isu-isu SARA, politik identitas, konten berita palsu, dan ujaran kebencian.

"Jika kondisi-kondisi dari temuan diatas terus berlanjut, kampanye yang telah dan masih akan terus berlangsung tidak akan memberi manfaat yang berarti bagi publik terutama bagi kelompok undecided voters," kata Direktur Puskapol UI Aditya Perdana di Jakarta, Sabtu (2/3).

Puskapol menilai, perlu dilakukan upaya untuk memperbaiki kualitas kampanye di sisa waktu masa kampanye yang ada. Aditya mengatakan, hal itu dilakukan guna menjamin terwujudnya pemilu yang berintegras.

Aditya mengatakan, perlu adanya penguatan koordinasi antara pusat dan daerah dalam konteks pengelolaan isu-isu kampanye. Dia melanjutkan, isu-isu lokal harus diangkat sesuai dengan konteks dan kebutuhan masing-masing daerah dan tidak melulu didominasi oleh isu nasional.

"Tim kampanye masing-masing kandidat bertanggung jawab mengontrol manajemen isu kampanye agar tidak menimbulkan distorsi informasi dan kampanye liar di media sosial," kata Adit lagi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement