REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) memproses permohonan uji materi tentang aturan pindah memilih dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Saat ini MK masih melakukan verifikasi berkas permohonan uji materi yang diajukan dua mahasiswa di Bogor itu.
Juru Bicara MK, Fajar Laksono, mengatakan permohonan uji materi telah diterima oleh pihaknya. "Setelah itu kami akan melakukan verifikasi berkas, kalau sudah lengkap (berkasnya) nanti diregistrasi baru kemudian sidang pendahuluan," ujar Fajar saat dikonfirmasi pada Jumat (1/3).
Sebelumnya, dua orang mahasiswa yang berkuliah di Bogor mengajukan uji materi terhadap ketentuan pindah memilih dalam Pasal 210 ayat (1) ayat (2), dan ayat (3), Pasal 344 ayat (2) dan Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Keduanya yakni Joni Iskandar sebagai Pemohon I dan Roni Alfiansyah Ritonga sebagai Pemohon II.
Joni Iskandar berasal dari Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatra Selatan. Dirinya tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) tempat asalnya.
Akibatnya, Joni tidak bisa mengurus pindah memilih ke Kabupaten Bogor dan terancam tidak bisa menggunakan hak pilihnya pada Pemilu Tahun 2019. Sementara itu, Roni Alfiansyah Ritonga berasal dari Kabupaten Labuhanbatu, Provinsi Sumatera Utara.
Roni sudah tercatat dalam DPT di daerah asalnya. Kemudian dirinya pun telah mengurus keterangan pindah memilih ke KPU Kabupaten Bogor.
Namun, Roni merasa khawatir tidak bisa memilih karena ada potensi kekurangan surat suara. Roni pun merasa tidak puas akibat kepindahan itu, dia hanya mendapatkan satu surat suara yakni untuk pemilihan presiden dan wakil presiden.
Kedua mahasiswa ini pun berpandangan bahwa aturan pindah memilih berpotensi mencederai hak konstitusional mereka sebagai warga negara. Ketentuan Pasal 210 ayat (1) yang menyatakan penyusunan dan pengurusan DPTb paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara secara teknis sangat menyulitkan bagi pemilih maupun penyelenggara. Pada ayat (2) dan ayat (3) yang pada pokoknya menyatakan apabila tidak terdaftar pada DPT dan tempat pemungutan suara (TPS) daerah asal sesuai alamat KTP-el maka pemilih tersebut tidak bisa mengurus pindah memilih dan tidak bisa dimasukan dalam daftar pemilih tambahan (DPTb).
Kemudian, pada Pasal 344 ayat (2) yang menyatakan bahwa basis pengadaan surat suara sejumlah DPT ditambah 2 persen untuk setiap TPS dapat mengakibatkan pemilih DPTb kehabisan surat suara karena tidak teralokasikannya pengadaan surat suara bagi kelompok pemilih DPTb. Terakhir, ketentuan pasal 348 ayat (4) pemilih DPTb antar provinsi hanya akan mendapatkan satu surat suara pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
"Hakikat memilih untuk semua jenis pemilihan dalam pemilu merupakan partisipasi bagi bangsa dan negara tanpa harus dibatasi sekat-sekat kedaerahan atau daerah pemilihan. Sehingga pemilih DPTb pun harusnya diberlakukan sama, yaitu memperoleh lima jenis surat suara," tegas Roni salam keterangan tertulisnya.
Dalam petitumnya, Joni dan Roni mengemukakan bahwa beberapa ketentuan mengenai penyusunan dan pengurusan DPTb yang terdapat dalam Pasal 210 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 344 ayat (2) dan Pasal 348 ayat (4) secara substansi bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2) 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
"Dengan merujuk pada pertimbangan hukum hakim konstitusi dalam Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 menyebutkan bahwa, hak konstitusional warga untuk memilih dan dipilih tidak boleh dihambat atau dihalangi oleh berbagai ketentuan dan prosedur administratif apapun yang mempersulit warga negara untuk menggunakan hak pilihnya," tegas Roni.