Rabu 27 Feb 2019 05:01 WIB

Young Muslim: Fenomena Sosialita Taklim

Belanja fashion muslim dunia di tahun 2018 lalu sebesar 44 miliar dolar AS.

Pengunjung Hijrah fest berdoa bersama saat ustaz memimpin doa usai mengisi dakwah dalam acara Hijrah Fest 2018 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Ahad (11/11).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Pengunjung Hijrah fest berdoa bersama saat ustaz memimpin doa usai mengisi dakwah dalam acara Hijrah Fest 2018 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Ahad (11/11).

Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Traveler dan Penulis Buku

Sudah agak lama saya mengamati fenomena yang saya istilahkan “sosialita ta’lim”. Ini sekadar penamaan saja. Tidak perlu diperdebatkan ya.

Fenomena “sosialita ta’lim” ini berjalan seiring dengan datangnya gelombang hijrah generasi muda muslim Indonesia.

Shelina Janmohamed, penulis buku Generation M: Young Muslim Changing The World, yang saya jumpai empat tahun lalu di Jakarta, mendefinisikan M Generation (Muslim milenial) sebagai generasi yang bangga dengan kepercayaan mereka. Antusias, dinamis, aktif, kreatif, namun demanding.

“Bagi M Generation, beriman dan hidup modern adalah dua hal yang seiring sejalan. Sama sekali tidak ada kontradiksi antara keduanya,” ujarnya.

Salah satu tulisan yang saya posting November 2018 lalu, “Getar Hijrah Menjemput Cahaya Hidayah” dan sempat viral di media sosial berusaha menangkap fenomena tersebut.

Bagaimana anak-anak muda antusias hadir dalam sebuah gelaran dakwah Hijrah Fest yang diselenggarakan di JCC. Bahkan tiketnya sold out, padahal dibanderol tak murah.

Di dalam ajang tersebut, tampak jelas para “sosialita ta’lim” yang mudah ditandai dengan penampilannya yang berbalut fashion hijab terkini. Hijab warna-warni khas Indonesia. Atau gamis dan hijab yang menjuntai panjang, yang terkadang harganya membuat tercengang.

Tak hanya hadir di acara festival semacam ini, mereka juga mempunyai jadwal ta’lim yang padat. Tempatnya pun tak harus lagi di masjid. Bisa di café atau restoran terkemuka.

“Di Bandung fenomena ini sangat terlihat. Istilahnya, sekarang itu harus ikut ta’lim. Kalau enggak, enggak gaul,” tanggap Ustadz Dedi Hariadi, Lc., dai muda lulusan Al-Azhar Kairo yang sedang naik daun dan menjadi pembina beberapa majelis ta’lim.

Di media sosial mereka pun terbaca jelas. “Setiap selesai ta’lim harus upload fotonya,” lanjut Ustadz Dedi.

Karena sudah ngaji, profil picture-nya bukan lagi foto selfie. Melainkan berpose membelakangi kamera atau menutup sebagian wajah dengan beragam benda, seperti buku atau bunga. Atau menggunakan animasi perempuan berhijab ala komik Jepang/manga, namun tanpa penggambaran muka.

Fenomena ini rupanya juga ditangkap DR Muhammad Faisal yang dituang dalam bukunya “Generasi Phi: Memahami Milenial Pengubah Indonesia.”

Dari survei yang dilakukan Youthlab (lembaga riset miliknya) di tahun 2015 dan 2016 pada lebih dari 2.000 partisipan di Jawa dan luar Jawa, isu utama yang dianggap paling penting dalam kehidupan anak muda Indonesia adalah isu keagamaan atau religiositas.

Mengapa? Masih menurut hasil penelitian tersebut, saat ini perilaku rebellious (memberontak, ingin tampil beda, seperti yang dilakukan generasi 80-an) sudah dianggap lumrah.

Sehingga, terjadilah reserve psychology (teori psikologi terbalik) berupa perilaku saleh, rajin ibadah. Yang dianggap sebagai anti-mainstream dan karenanya menjadi keren bagi generasi ini.

Boleh setuju, boleh juga tidak dengan hasil penelitian ini.

Fakta lain terkait fenomena “sosialita taklim” yang tak kalah mencengangkan adalah nilai belanja fashion muslim dunia di tahun 2018 lalu sebesar 44 miliar dolar AS.

Manisnya pasar fashion muslim dunia ini juga dinikmati pengusaha Indonesia. Tercatat tak kurang dari 4,57 miliar USD nilai eksport fashion muslim Indonesia di tahun 2015 lalu.

Fashion muslim ini kemudian berkembang. Tak hanya baju dan kerudung, namun juga kebutuhan muslim lainnya.

Maka tepatlah seperti yang dikatakan Yuswohady dalam bukunya “Marketing to The Middle Class Muslim”. Menurutnya, kalau di dunia Barat, semakin makmur warganya, semakin pintar mereka, maka akan semakin atheis.

Sebaliknya di Indonesia, semakin makmur seorang Muslim, semakin pintar mereka, maka akan semakin religius.

Saya mencoba menangkap fenomena ini, seperti halnya saat menangkap fenomena hijab di akhir tahun 90-an.

Dan kereta hijrah di Indonesia memang menarik banyak sekali gerbong. Masing-masing isinya beragam. Tidak perlu saling menisbikan. Semua sedang berproses. InsyaAllah, stasiun terakhirnya pun sama.

Sepakat?

Semua artikel dan foto telah dipublikasikan. Follow me on IG @uttiek.herlambang | FB @uttiek_mpanjiastuti | www.uttiek.blogspot.com

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement