Jumat 30 Nov 2018 13:35 WIB

Fenomena Hijrah Pemuda: Membalik Stigma Muslim Milenial

Kebangkitan generasi milenial Muslim tidak perlu dikhawatirkan.

Pengunjung Hijrah fest berdoa bersama saat ustaz memimpin doa usai mengisi dakwah dalam acara Hijrah Fest 2018 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Ahad (11/11).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Pengunjung Hijrah fest berdoa bersama saat ustaz memimpin doa usai mengisi dakwah dalam acara Hijrah Fest 2018 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Ahad (11/11).

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Fitriyan Zamzami, Hartifiany Praisra

Fenomena kembali ke agama sebagai jalan hidup kerap diasosiasikan dengan kaum paruh baya yang telah mapan. Kendati demikian, beberapa tahun belakangan semangat serupa juga kian tampak di kalangan pemuda kotakota besar di Indonesia. Wartawan-wartawati Republika mencoba menangkap geliat gerakan ini di sejumlah daerah. Berikut tulisan bagian kelima.

***

Fenomena generasi milenial Muslim yang tak ragu menunjukkan semangat beragama kian kasat mata di Indonesia. Sejak dua tahun belakangan, di kota-kota besar, seperti Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta, acara-acara yang menggabungkan gairah anak muda dan keislaman tersebut selalu disesaki pengunjung. Apakah ini sekadar fenomena lokal?

Pada 2017, lembaga survei terkemuka, Pew Research melakukan survei keagamaan di Amerika Serikat. Para pemeluk dari berbagai umur dan latar belakang disigi untuk mengetahui kecenderungan masing-masing komunitas. Secara keseluruhan, di Amerika Serikat tren meninggalkan agama resmi. Kendati demikian, ada yang janggal dan keluar pakem pada komunitas Muslim AS.

Pada agama-agama lain, selalu lebih banyak kaum lebih tua yang menganggap agama sangat penting dalam kehidupan mereka dibandingan para milenial yang lahir pada rentang 1980-2000-an. Pada Kristen Evangelis, 80 persen orang tua menganggap agama sangat penting dibandingkan 75 persen kaum milenial.

Pada Protestan, nilainya 55 persen dibandingkan 45 persen. Sementara di Katolik, ketimpangannya sangat tajam, 61 persen orang tua dibandingkan 46 persen generasi milenial.

Sementara di komunitas Muslim, tren itu berbalik. Justru, lebih kaum banyak milenial yang menganggap agama sangat penting dalam kehidupan mereka. Sebanyak 66 persen generasi milenial Muslim AS menganggap penting agama dibandingkan 64 persen pada golongan tua.

Saat para milenial agama lain persentase kerajinannya lebih rendah dari golongan tua, di Islam persentasenya terbalik. Justru, generasi milenial (44 persen) yang lebih sering ke masjid ketimbang golongan tua (42 persen). Yang juga janggal pada komunitas Islam adalah jarak persentase persepsi keberagamaan kaum milenial dan senior mereka tak sedemikian jauh dibandingkan komunitas beragama lain.

Bagaimana di negara-negara di mana Islam adalah bagian dari status quo, sementara kita paham bahwa kemapanan bukan hal yang disukai betul oleh anak-anak muda? Pada 2015, Tabah Foundation dari Uni Emirat Arab bekerja sama dengan Zogby Research Service menggelar survei besar-besaran tentang pandangan generasi milenial Muslim. Negara-negara yang dijadikan sampel adalah Maroko, Mesir, UEA, Arab Saudi, Yordania, Palestina, Bahrain, dan Kuwait.

Hasilnya ternyata juga membalik asumsi awal soal anak muda. Seratus persen generasi milenial di empat negara (Saudi, Bahrain, Kuwait, Yordania) meyakini agama Islam karena mereka menyimpulkan sendiri kebenaran agama tersebut, bukan semata karena faktor keturunan. Jumlah kaum milenial dengan pandangan serupa adalah 90 persen di Mesir, UEA, dan Palestina; serta 77 persen di Maroko.

Terlepas dari kondisi negara masing-masing, generasi milenial di negara-negara itu sangat sepakat bahwa agama memiliki peran penting untuk masa depan negara mereka. Persentase paling tinggi adalah 93 persen di Kuwait, dan paling rendah 75 persen di Yordania dan 63 persen di Bahrain.

photo
Remaja Muslim di Amerika Serikat (Ilustrasi)

Hal yang juga unik, pandangan religius itu berbanding lurus dengan progresivitas. Sedikitnya 66 persen di Bahrain dan paling banyak 92 persen di Yordania sepakat bahwa agama yang dijalankan di negara mereka menghormati dan memberdayakan perempuan.

Sebagian besar juga menuntut lebih banyak ulama perempuan terlibat dalam penafsiran agama. Sebagian besar juga mendesak agar isu-isu yang disampaikan ulama dan ustadz serta khatib dibuat relevan dengan kondisi terkini.

Kaum milenial Muslim di negara-negara tersebut agaknya memiliki kesadaran bahwa yang dijalankan negara atau institusi agama di negara mereka belum tentu sesuai nilai-nilai Islam. Alih-alih meninggalkan agama sehubungan yang dipraktikkan status quo, generasi milenial Muslim menengok sendiri ke ajaran agama.

Bersambung ke halaman berikutnya..

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement