Rabu 28 Nov 2018 14:46 WIB

Fenomena Hijrah Pemuda: Gerakan Kebangkitan dari Jogokariyan

Waktu Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya, bahkan Subuh, Masjid Jogokariyan senantiasa penuh

Masjid Jogokariyan di Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta
Foto: Republika/Wahyu Suryana
Masjid Jogokariyan di Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Wahyu Suryana

Fenomena kembali ke agama sebagai jalan hidup kerap diasosiasikan dengan kaum paruh baya yang telah mapan. Kendati demikian, beberapa tahun belakangan semangat serupa juga kian tampak di kalangan pemuda kota-kota besar di Indonesia. Wartawan-wartawati Republika mencoba menangkap geliat gerakan ini di sejumlah daerah. Berikut tulisan bagian ketiganya.

Masjid di salah satu sudut dari empat sisi sebuah perempatan pinggir Jalan Jogokariyan, Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta, tersebut tak sedemikian mewah dengan hiasan ornamen-ornamen. Selain sejumlah gerbang lengkung di sekelilingnya, ia semata bangunan berbentuk kotak dengan luas sekitar 750 meter persegi. Menara masjid yang didominasi warna hijau juga tergolong sederhana.

Masjid yang bernama Masjid Jogokariyan itu bermula dari sebuah langgar sederhana. Ia dibangun masyarakat sekitar untuk melaksanakan shalat dan belajar mengaji. Namun, pada 1965, pergolakan terjadi. Menurut situs resmi Masjid Jogokariyan, penangkapan anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang waktu itu banyak mendiami Jogokariyan membuat demografi berubah.

Umat Islam yang mendapatkan angin segar dari peristiwa itu kemudian menginisiasi pendirian masjid tersebut untuk menggantikan langgar yang lama. Sepetak tanah seluas 600 meter persegi dibeli secara patungan sejumlah warga pengusaha batik di lokasi tersebut untuk didirikan masjid. Bangunan yang mulanya hanya seluas 135 meter persegi itu kemudian dilebarkan hingga keluasannya saat ini.

Kesederhanaan arsitektur masjid itu, dari pantauan Republika, berbanding terbalik dengan ramainya masyarakat yang datang ke masjid. Umat Islam dengan berbagai latar belakang yang merupakan jamaah rutin menjadi kemewahan tersendiri.

Waktu Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya, bahkan Subuh, Masjid Jogokariyan senantiasa penuh. Jamaah shalat meluber sampai teras samping dan belakang, dan berdiri menunggu kelompok selanjutnya menjadi pemandangan biasa.

Selain tanah kosong yang ada di sisi jalan seberang, parkiran kecil terdapat pula di bagian belakang masjid. Walau berada di satu atap, area parkir kecil ini memisahkan bangunan masjid dengan perkantoran.

Parkiran kecil itu biasa digunakan jamaah-jamaah yang datang menggunakan motor. Tidak cuma sekretariat DKM, perkantoran itu diberdayakan sebagai tempat-tempat usaha Masjid Jogokariyan. Mulai toko perlengkapan shalat sampai penginapan dua lantai untuk pengunjung dari luar kota ada di sana. Ada pula satu mesin ATM beras di teras perkantoran, yang bisa digunakan kaum dhuafa yang sedang membutuhkan.

Masjid yang sejak lama sudah penuh inovasi tersebut belakangan jadi kian penting perannya, terutama sebagai pusat gerakan para pemuda Muslim di Yogyakarta. Gerakan yang membuat para pemuda dipercaya melaksanakan berbagai helatan di Masjid Jogokariyan.

Saat Kampung Ramadhan Jogokariyan digelar tahun ini, misalnya, Ahmeda Aulia, seorang pemuda berusia 25 tahun, ditunjuk sebagai ketua panitia. Pengurus media dan terbitan DKM Masjid Jogokariyan tersebut berhasil mewujudkan sebuah gelaran yang dapat sorotan berbagai pihak karena keterbukaannya untuk semua kalangan.

Pria yang akrab disapa Edo itu mengakui, tren di Yogyakarta memang berkorelasi dari yang terjadi di kota-kota besar lain nya. "Kebangkitan itu saat ini sudah menjamur ketika anak-anak muda mulai kembali atau mulai hijrah," kata Edo kepada Republika, pekan lalu.

photo
Gelaran Kampung Ramadhan Jogokariyan di Kampung Jogokariyan, Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta, DIY, Kamis (17/5). Digelar untuk ke-14 kalinya, Kampung Ramadhan Jogokariyan tahun ini melibatkan tidak kurang 300 pedagang dan 2.500 sajian berbuka harian di Masjid Jogokariyan.

Tak hanya Kampung Ramadhan Jogokariyan, panitia acara Muslim United yang digelar beberapa waktu lalu juga lebih dari 80 persen merupakan anak-anak muda yang merupakan gabungan dari beberapa elemen masjid di DIY. Selain itu, Edo melihat fenomena serupa terjadi di perhelatan-perhelatan, seperti Hijrah Festival, di Jakarta.

Ia melihat, perhelatan itu berhasil mengakomodasi anak-anak muda, khususnya teman-temannya yang hijrah. "Jadi, bukan hanya terjadi di masjid-masjid besar, kebangkitan itu sudah menjamur menjadi fenomena," ujar Edo.

Acara Jogja Halal Festival yang berlangsung di Jogja Expo Center, Bantul, pada 11-14 Oktober lalu, misalnya, dihadiri pengunjung jauh dari ekspektasi semula. Sebanyak 31 ribu orang dicatat panitia menghadiri helatan yang diisi pameran produk halal, seminar, dan tausiyah serta rerupa kegiatan edukatif Islami tersebut.

Dalam acara tersebut, hampir semua seminar-seminar yang dihadirkan diisi oleh anak-anak muda. Pengusaha, perancang busana, dan pebisnis silih berganti memberikan inspirasi kepada generasi muda lain.

Dengan catatan itu, jumlah rerata pengunjung per hari mencapai nyaris 8.000 orang, jauh dari target panitia sebanyak 5.000 pengunjung per hari. Para pengunjung, dari pantauan Republika kala itu, kebanyakan dari kalangan usia muda dan sudah menyesaki lokasi selepas subuh. Ketua Panitia Jogja Halal Fest 2018, Mursida Rambe, menuturkan, omzet acara tersebut mencapai nilai total Rp 10 miliar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement