Senin 25 Feb 2019 00:24 WIB

Ini Langkah Hayati Setelah Dipecat dari ASN

Pemerintah menegaskan pemecatan Hayati bukan soal cadar, melainkan disiplin.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Teguh Firmansyah
Dr Hayati Syafri, dosen IAIN Bukittinggi yang nonaktif mengajar lantaran keputusannya bercadar, hadir dalam musyawarah akbar ormas Islam, Ahad (25/3). Pertemuan tersebut membahas upaya dialog dengan IAIN Bukittinggi terkait pembatasan cadar di kampus.
Foto:

Hayati menunjukkan salah satu indikasi bahwa pemecatan ia karena bercadar. Hal itu , kata ia, bisa dilihat ketika ia bersama tiga temanya sama-sama menempuh pendidikan program doktor.

"Hayat bersama tiga kawan lainnya di kelas yang sama di S3 dan sama-sama dosen IAIN Bukittinggi di jurusan Bahasa Inggris sejak 2014. Tapi anehnya tiga teman Hayat itu tidak diproses seperti Hayat, padahal hampir  sama-sama kasusnya," katanya.

Ia juga aneh ada dosen lain yang menempuh pendidikan S3 diringankan dalam menjalankan tugas pokoknya.  "Bahkan Warek 2 IAIN Bukit Tinggi juga ambil S3 di Medan sebelum ini..aman saja..padahal sedang menjabat."

Oleh karena itu ia yakin pemberhentiannya bukan karena absen melainkan masalah cadar.  Ia pun merasa telah menjadi korban diskriminasi terhadap sebelum ada peristiwa pemecatan.

Bantah Hayati

Pihak Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukit Tinggi, Sumatra Barat, membantah telah melakukan pemecatan terhadap dosen bernama Hayati Syafri karena persoalan cadar. Pemecatan tersebut dilakukan murni karena Hayati kerap bolos melebihi batas yang ditetapkan pemerintah.

 

Kepala Biro Administrasi Umum Akademik dan Kemahasiswaan IAIN Bukit Tinggi, Syahrul Wirda, mengatakan, isu terkait pemecatan Hayati karena bertahan menggunakan cadar tidak benar.

Pihak kampus, kata dia, tidak pernah mengintervensi persoalan pakaian kepada setiap civitas akademika. Selama, pakaian yang digunakan pantas untuk digunakan di lingkungan kampus.

“Dia sudah diaudit oleh Itjen Kemenag. Ini murni karena melanggar aturan disipilin. Tercatat Hayati sudah 67 hari tidak masuk kerja secara kumulatif. Batas maksimal 46 hari,” kata Syahrul saat dihubungi Republika.co.id, Sabtu (23/2) malam.

Regulasi terkait batas maksimal tidak masuk kerja itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010, Pasal 3, ayat 11 dan 17. Ia pun menegaskan, IAIN Bukti Tinggi memiliki standar kode etik dalam menetapkan sanksi kepada dosen maupun mahasiswa. Pihak kampus, kata dia, juga tidak pernah mempermasalah Hayati yang menggunakan cadar dalam kegiatan belajar mengajar.

Terkait pelanggaran berupa tidak masuk kerja, Syahrul mengklaim, pihaknya sudah memberikan teguran berkali-kali. Hanya saja, tidak diindahkan oleh Hayati. Padahal, kata Syahrul, Hayati yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) terikat terhadap segala aturan kerja yang ditetapkan pemerintah pusat.

Syahrul mengakui, saat ini dosen Hayati memang tengah menjalani pendidikan S3 di Universitas Negeri Padang. Izin yang diberikan kampus merupakan izin belajar, bukan tugas belajar. Karena itu, sesuai perjanjian, meskipun Hayati tengah menjalani pendidikan doktor, ia tetap harus menjalani aturan ASN.

“Hayati tidak akan dituntut tugas pekerjaan dan tetap dibayar gajinya sampai selesai kuliah jika izin yang diberikan adalah tugas belajar. Ini izin yang kita berikan adalah izin belajar,” kata dia.

Lebih lanjut, kata Syahrul, izin belajar kepada seorang dosen akan diberikan jika jarak antara universitas tempat bekerja dan belajar sekitar 60-70 kilometer. Adapun jarak antara IAIN Bukit Tinggi dan UNP masih di kisaran itu sehingga Hayati diperbolehkan mengajar sembari kuliah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement