Sabtu 23 Feb 2019 10:35 WIB

Kemen-PPPA Tegaskan RUU PKS tidak Pro-Zina

Kemen-PPPA menganggap banyak yang salah menafsirkan RUU PKS.

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Reiny Dwinanda
Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA Vennetia R Danes sedang memberikan sambutan saat peluncuran Program Sosialisasi Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Sejak Dini di Dumai, Provinsi Riau, Selasa (4/10).
Foto: Nidia Zuraya/Republika
Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA Vennetia R Danes sedang memberikan sambutan saat peluncuran Program Sosialisasi Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Sejak Dini di Dumai, Provinsi Riau, Selasa (4/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) menegaskan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) memiliki tujuan untuk melindungi korban kekerasan seksual. Kemen-PPPA menilai RUU PKS banyak salah ditafsirkan dan itu beredar di media sosial.

Salah satu yang banyak dibahas warganet adalah RUU PKS berpotensi melegalkan perzinaan, LGBT, prostitusi, dan aborsi. Kemen-PPPA menyatakan informasi itu keliru.

Baca Juga

"Justru RUU PKS melindungi calon korban dan korban kekerasan seksual lebih awal, sebelum terjadi kontak fisik dengan istilah pelecehan," kata Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen-PPPA, Vennetia Danes, dalam temu media, Jumat (22/2).

Vennetia mengungkapkan RUU PKS justru menghargai harkat dan martabat perempuan dengan fungsi kodrati (reproduksi) sebagai ibu, calon ibu, dan ibu bangsa. Ia pun meminta agar masyarakat tidak menafsirkan draf RUU PKS di luar konteks kekerasan seksual dan menjadikannya multitafsir.

Berdasarkan data dari Kemen-PPPA, kasus kekerasan seksual yang dilaporkan kepada sepanjang tahun 2018 ada 7.275 kasus. Data ini belum ditambah dengan laporan dari Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).

Vennetia mengatakan kasus kekerasan seksual sering kali terjadi karena relasi kuasa yang tidak seimbang. "Seperti dilakukan ayah tiri, guru dengan siswa, atasan dengan bawahan, dan banyak contoh lainnya yang terjadi di sekitar kita," kata dia.

Di sisi lain, Vennetia mengakui banyak kasus kekerasan yang tidak terakomodir oleh regulasi yang ada. Menurutnya, kekerasan seksual semakin merajalela sebab tidak ada payung hukum yang memberikan perlindungan kepada korban kekerasan seksual.

Pekan lalu, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) telah menanggapi adanya isu mengenai diaturnya LGBT di dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Hidayat menegaskan bahwa partainya jelas menolak perilaku LGBT.

"Ya, sejak dari awal kalau sikap kami jelas ya kami menolak LGBT. Dan kami bukan karena kami maunya menolak, karena Indonesia masih negara Pancasila," kata Hidayat di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (14/2).

Ia menjelaskan bahwa di dalam sila pertama jelas berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. Ia meyakini, tidak ada satu agama pun yang memperbolehkan perilaku LGBT.

Penolakan terhadap LGBT juga disampaikan Ketua DPR Bambang Soesatyo. Bambang menegaskan, tidak satu pun ruang untuk LGBT, baik di RUU KUHP maupun RUU PKS.

"Jadi, saya yakinkan, saya nyatakan dengan tegas tidak ada itu," katanya menegaskan.

Ia meminta semua pihak tidak perlu mengkhwatirkan ada RUU PKS tersebut. Ia berani mempertaruhkan jabatannya sebagai ketua DPR jika nantinya LGBT disahkan di dalam rancangan undang-undang tersebut.

"Saya sudah menyampaikan kalau ada itu LGBT yang masuk disahkan, saya pertama kali menyatakan mundur dari ketua DPR," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement