REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Senior Independent Expert on Legal, Human Rights, and Gender sekaligus Pendiri Institut Perempuan Valentina Sagala meminta kepada DPR untuk menghindari pidana denda kepada pelaku kekerasan seksual dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Menurut Valentina, denda tidak sama dengan restitusi.
"Masak negara mau menerima uang karena lima juta perempuannya diperkosa dan negara menerima uang? Itu kan secara filosofis sudah tidak pas," ucap Valentina.
Pernyataan tersebut ia sampaikan ketika memberi paparan dalam seminar nasional bertajuk "Segera! Sahkan RUU TPKS" yang disiarkan di kanal YouTube Pemuda Katolik Jakpus, dan dipantau dari Jakarta, Ahad (30/1/2022). Konsep hukuman denda yang merupakan ancaman bagi pelaku tindak pidana, tutur Valentina menjelaskan, sudah banyak menuai kritik dari para pemikir-pemikir hukum.
Ia juga berharap agar dosen-dosen yang berasal dari berbagai Fakultas Hukum turut memperjuangkan agar para pembuat undang-undang dapat memilah tindak pidana apa saja yang etis untuk diberikan sanksi berupa denda, serta tindak pidana apa saja yang tidak. "Bedanya denda dengan restitusi kan jelas, ya. Denda itu uangnya masuk ke negara, sedangkan restitusi untuk korban oleh pelaku. Kompensasi itu diberikan oleh negara kepada korban," paparnya.
Untuk kasus-kasus terkait perbudakan seksual atau penyiksaan seksual, pemberian kompensasi kepada korban patut diperjuangkan. Kemudian, terkait kasus pemerkosaan, akan lebih baik bila pelaku dijatuhkan kewajiban untuk memberi restitusi, bukan denda.
"Kalau orang diperkosa, masa negara menerima uang atas perkosaan itu? Kan tidak pas. Ini beberapa hal yang sangat jarang dikritisi," kata dia.
Dalam kesempatan yang sama, ia juga menjelaskan bahwa saat ini memang politik hukum di Indonesia masih memberikan pemidanaan berupa penjara atau denda. "Karena memang politik hukumnya seperti itu. Pemidanaannya adalah penjara atau denda," ujarnya.