Kamis 21 Feb 2019 05:01 WIB

Praktik Homoseksual: Dari Kolonial Hingga Penjara Sukamiskin

Ternyata pegawai kolonial kilit putih juga banyak yang menjadi pelaku homo seksual

Kendaraan melintas di samping pesan papan informasi waspada LGBT (Lagi Nyetir Gak Boleh Telpon) di jalur tol fungsional Batang-Samarang, Batang, Jawa Tengah, Senin (11/6).
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi LGBT

Penjara Sukamiskin, Bandung, menjadi saksi perjalanan hidup Soekarno, yang kelak diangkat sebagai presiden pertama RI. Sukamiskin bukan saja menjadi saksi pemenjaraan terhadap Soekarno, namun juga menjadi saksi bisu praktik penyimpangan dan kejahatan seksual. Sebuah cermin kelamnya kehidupan dalam penjara yang dihuni oleh Soekarno.

Catatan peristiwa kelam itu dapat kita peroleh dari cerita Soekarno saat dirinya menghuni penjara tersebut. Dengan mata kepala sendiri ia menyaksikan perbuatan nista tersebut.

“Di hadapanku laki-laki melakukan pertjintaan dengan laki-laki lain. Seorang Belanda jang tjerdas dan potongan orang gede-gede membanting-tulang seperti budak di bagian benatu pendjara. Aku sedang berada dekatnja ketika pendjaga pendjara menjampaikan kepadanja bahwa ia akan dipindahkan bekerdja ketempat jang lebih tjotjok dengan pembawaan mentalnja daripada pekerdjaan membudak jang telah dilakukannja begitu lama. ,,Kami akan pindahkan tuan besok, kata pendjaga itu.

,,Mulai dari sekarang tuan tidak perlu lagi membungkuk di bak-uap dan tangan tuan tidak akan mengelupas lagi dalam air jang mendidih. Karena kelakuan tuan jang baik, tuan diberi pekerdjaan ringan di rumah-obat. Belanda itu mendjadi takut. Mulutnja bergerak gugup. ,,0 tidak. teriaknja sambil menggapai tangan pendjaga itu. ,,Tidak ……… tidak……ach, tidak. Djangan aku dipindahkan ke sana

Pendjaga jang keheranan itu menjangka orang tahanan itu salah dengar. ,,Tuan tidak mengerti, kata pendjaga mengulangi. ,, Ini suatu keringanan. Keringanan untuk mengerdjakan jang lebih mudah.

,,Djangan…….. djangan,” orang tahanan itu membela pendiriannja. ,,Pertjajalah padaku, aku tidak mau keuntungan ini. Kuminta dengan sangat, biarkanlah aku bekerdja di bagian benatu. Biar bekerdja keras.”

“,,Kenapa ?” tanja pendjaga tidak pertjaja.

“,,Karena,” bisiknja, “,,Tempatnja tertutup di sini dan aku selalu dilingkungi orang sepandjang waktu. disini aku bisa berhubungan rapat dengan orang-orang di sekelilingku. Sedang di rumah-obat aku tak mendapat kesempatan ini dan tidak akan bisa menggeser pada laki-laki lain. Djangan…….djangan pindahkan aku kesana. Inilah akibat pengurungan terhadap manusia.” (Cindy Adams : 1966) Kecanduan pada perbuatan terkutuk kaum Nabi Luth telah membuat pria tersebut tak mau pindah.

Lain waktu, Soekarno menceritakan sosok homoseksual penghuni sel yang gemar melakukannya dengan anak-anak muda pribumi. Di balik teralis penjara, laku maksiat itu tidak sirna. Malah menjadi-jadi.

“Sungguh banjak persoalan homoseksuil diantara orang kulit putih. Seorang Belanda berambut keriting, dengan pundaknja jang lebar dan sama seperti laki-laki lain jang bisa dilihat dimana-mana, telah didjatuhi hukuman empat tahun kerdja berat. Kedjahatannja, karena bermain-main dengan anak-anak muda. Tapi walaupun dihukum berkali-kali untuk menginsjafkannja, namun nampaknja ratusan anak laki-laki jang berada disekelilingnja adalah satu-satunja obat bagi penjakitnja, wallahu’alam. Hukumannja telah habis dan dipagi ia meninggalkan pendjara, kukira dia bisa baik lagi.”

“Sebulan kemudian dia menonton bioskop. Dia duduk di bangku depan dikelilingi oleh delapan atau sembilan anak-anak muda. Orang kulitputih berambut pirang dan berbadan besar duduk dikelas kambing jang disediakan untuk orang Bumiputera tentu mudah diketahui orang. Terutama kalau perhatiannja tidak terpusat kepada film. Djadi, kembalilah ia mengajunkan langkah menudju bui. Pendjara bukanlah obatnja. Ia kembali keselnja jang lama sebelum keadaannja berobah.”

Orang kulitputih itu dimasukkan kesel di bawahku. Di sini ia berusaha lagi menawarkan kegemarannja itu.

“Pada waktu tidak ada orang disekelilingku, kutanjakan hal in kepadanja. ,,”Kenapa?” tanjaku. ,,Kenapa engkau mau bertjinta denganku ?” Dan ia mendjawab, “Karena disini tidak,ada perempuan.”

Aku mengangguk, ,”Memang benar. Aku sendiri djuga menginginkan kawan perempuan, tapi bagaimana bisa……….”

“Kemudian ia menambahkan, “Jah, apalah perempuan itu kalau dibandingkan dengan lelaki?”

,,”Ooooh,” kataku terengah. ,,”Kau sakit !” (Cindy Adams : 1966)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement