Sabtu 16 Feb 2019 00:13 WIB

ICW Desak Pemerintah Tarik Dana Hasil Kejahatan

MLA dengan Swiss harus dimanfaatkan kejar dana kejahatan di luar negeri.

Rep: Dian Fath R/ Red: Indira Rezkisari
Koordinator ICW Adnan Topan Husodo.
Foto: ANTARA/Reno Esnir
Koordinator ICW Adnan Topan Husodo.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Coruption Watch (ICW) mendesak pemerintah Indonesia secara konsisten dan serius menindaklanjuti kerja sama bantuan hukum timbal balik atau Mutual Legal Assistance (MLA) RI dengan pemerintah Swiss. Diketahui, MLA resmi diteken atau ditandatangani Pemerintah Republik Indonesia bersama Konfederasi Swiss.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly mewakili Pemerintah Indonesia. Sedangkan dari Pemerintah Swiss diwakili Kepala Departemen Peradilan dan Kepolisian Federal Swiss Karin Keller Sutter.

ICW berharap selain  melakukan penelusuran, pemerintah juga diminta agar perjanjian tersebut dapat mengembalikan dana-dana hasil kejahatan (asset recovery) yang disimpan di negara surga pajak (tax heaven). "MLA jangan hanya sekedar seremoni atau euforia belaka. Kenapa? Karena pemerintah tidak meletakkan strategi asset recovery sebagai penegakan hukum padahal itu adalah strategi memiskinkan pelakunya," ujar Koordinator ICW Adnan Topan Husodo kepada wartawan, Jumat (15/2).

Menurut Adnan kerjasama ini memungkinkan pemerintah untuk mengejar dana-dana kejahatan yang disimpan di luar negeri. "Asset Recovery bisa dilakukan jika pemerintah bersama DPR meratifikasi perjanjian MLA. MLA itu tahap awal untuk melakukan penegakan hukum, bagaimana agar asset recovery itu menjadi inti," terang Adnan.

Diketahui dalam dokumen Panama Papers yang dirilis International Concortium of Investigative Journalist (ICIJ) pada 2016, terdapat 899 nama individu, perusahaan, dan firma hukum Indonesia yang tercatat di dalamnya. Dari 899 tersebut, terdapat sederet nama Taipan dan pejabat mulai dari Bambang Sulistyo, Harry Azhar Azis, Sugianto Kusuma hingga Edwin Soeryadjaya.

Tak hanya itu, sederet Firma Hukum Indonesia seperti Law Office CCN & Associates, Rudyantho & Partners, hingga Soemadipradja & Taher juga tercatat di dalamnya. "Penegakan hukum yang tidak meletakkan prioritasnya pada asset recovery dalam konteks pemberantasan korupsi, itu pasti tidak akan pernah menimbulkan efek jera," tegas Adnan.

Sebelumnya, KPK menyambut baik perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana atau Mutual Legal Assistance (MLA) antara Indonesia dengan Swiss. "KPK melihat MLA tersebut secara positif, yang diharapkan semakin memperkuat kerjasama Internasional yang dimiliki oleh Indonesia," kata Kabiro Humas KPK, Febri Diansyah di Gedung KPK Jakarta, Rabu (6/2).

KPK meyakini dengan semakin lengkapnya aturan internasional, termasuk perjanjian MLA dengan Swiss akan semakin mempersempit ruang gerak koruptor. Setidaknya, koruptor dan pelaku kejahatan lainnya semakin sulit menyembunyikan hasil kejahatan mereka di negara lain, termasuk Swiss.

"Dengan semakin lengkapnya aturan internasional, maka hal tersebut akan membuat ruang persembunyian pelaku  kejahatan untuk menyembunyikan aset hasil kejatan dan alat bukti menjadi lebih sempit," ujar Febri.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly menekankan bahwa pentingnya perjanjian ini sebagai platform kerjasama hukum. Khususnya dalam upaya pemerintah melakukan pemberantasan korupsi dan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi atau asset recovery.

Yasonna menjelaskan, perjanjian MLA terdiri atas 39 pasal, diantaranya mengatur bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan, penyitaan hingga perampasan aset hasil tindak kejahatan. Lebih lanjut, Perjanjian MLA tersebut juga dapat digunakan untuk memerangi kejahatan di bidang perpajakan atau tax fraud.

"Pemerintah Indonesia saat ini berupaya memastikan warga negara atau badan hukum Indonesia mematuhi peraturan perpajakan. Kemudian tidak melakukan kejahatan penggelapan pajak atau kejahatan perpajakan lainnya," terangnya.

Indonesia menganut prinsip retroaktif dalam Perjanjian MLA. Prinsip tersebut, kata Yasonna, memungkinkan untuk menjangkau tindak pidana yang telah dilakukan sebelum berlakunya perjanjian. Sepanjang putusan pengadilannya belum dilaksanakan.

“Hal ini sangat penting guna menjangkau kejahatan yang dilakukan sebelum perjanjian ini,” ucapnya.

Perjanjian MLA Indonesia-Swiss merupakan kerjasama hukum masalah pidana yang ke-10 diteken Indonesia bersama negara lainnya. Sebelumnya bersama negara ASEAN, Australia, Hong Kong, RRC, Korsel, India, Vietnam, UEA, dan Iran. Sedangkan bagi Swiss, perjanjian MLA ini yang ke-14 ditandatangani bersama negara non-Eropa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement