Rabu 13 Feb 2019 07:39 WIB

Ketika PSI Ingin Deregulasi Pendirian Rumah Ibadah

Sebelumnya, PSI pernah mewacanakan berbagai hal yang menuai polemik

Ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie berpidato saat kampanye dalam #Festival11 Yogyakarta di Jogja Expo Centre (JEC), Bantul, DI Yogyakarta, Senin (11/2/2019).
Foto: Antara/Andreas Fitri Atmoko
Ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie berpidato saat kampanye dalam #Festival11 Yogyakarta di Jogja Expo Centre (JEC), Bantul, DI Yogyakarta, Senin (11/2/2019).

Oleh: Rizkyan Adiyudha, Muhyiddin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Partai Solidaritas Indonesia (PSI) kembali menuai sorotan. Kali ini, partai bernomor urut 11 itu mengumumkan keinginannya menghapus Peraturan Bersama Menteri (PBM) tentang pendirian rumah ibadah.

PSI mengklaim cita-cita itu sejalan dengan upaya melawan intoleransi di Tanah Air. Ketua Umum PSI Grace Natalie menggolongkan deregulasi SKB itu ke dalam salah satu agendanya.

“Pertama, di tingkat nasional PSI akan mendorong deregulasi aturan mengenai pendirian rumah ibadah. PSI akan mendorong penghapusan Peraturan Bersama Menteri Mengenai Pendirian Rumah Ibadah,” kata Grace Natalie melalui keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Selasa (12/2).

Pernyataan yang sama disampaikannya pada “Festival 11 Yogyakarta.” Acara yang dihelat di Grha Pradipta Jogja Expo Center, Senin (11/2), itu dihadiri sekitar dua ribu pengurus, kader, dan simpatisan PSI.

Menurut Grace, PBM tentang pendirian rumah ibadah sering disalahgunakan untuk membatasi atau bahkan mencabut kebebasan beribadah seorang warga negara. Padahal, konstitusi menjamin kebebasan demikian.

Oleh karena itu, lanjut mantan jurnalis itu, pihaknya menyampaikan janji. Bila kader PSI terpilih dan menjadi wakil rakyat di parlemen, maka deregulasi PBM Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 akan segera terwujud.

Bagi PSI, lenyapnya PBM itu merupakan satu tahap untuk mencegah terjadinya pemaksaan penutupan rumah ibadah. Untuk mendasarkan argumennya, Grace mengutip Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 28 E.

Ketiga ayat dalam pasal tersebut—hasil amandemen kedua—berbunyi, “(1) Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali; (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya; dan (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.”

Laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 2017 lalu juga dikutipnya. Menurut laporan itu, salah satu persoalan hak asasi yang paling menonjol dalam lima tahun terakhir adalah tentang pelarangan, perusakkan, atau penghalangan pendirian rumah ibadah di Indonesia. Grace pun memakai data dari SETARA Institute yang menyebut, terdapat 378 gangguan terhadap rumah ibadah di seluruh Indonesia selama 11 tahun terakhir.

“Saya ingin menegaskan kembali, bila partai ini diberi amanah, PSI akan berjuang agar tidak ada lagi penutupan rumah ibadah secara paksa! PSI akan bertindak dan berbicara atas dasar konstitusi. Kami ingin hak-hak dasar ini dipenuhi dan dijalankan secara penuh, tanpa syarat,” kata Grace.

Dia mengkhawatirkan adanya normalisasi sikap intoleran di tengah masyarakat. Fenomena itu terjadi melalui produk kebijakan yang cenderung berpihak pada umat tertentu saja. Situasi itu dapat kian memburuk ketika pejabat, birokrat, dan politikus di daerah memanfaatkan sentimen suku, ras, dan agama (SARA).

“Peraturan Bersama Menteri mengenai pendirian rumah ibadah, menurut Komnas HAM, pada praktiknya membatasi prinsip kebebasan beragama," kata Grace Natalie dalam keterangan tertulisnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement