Selasa 12 Feb 2019 13:45 WIB

Apa Mengubah Kebiasaan Buang Sampah di Tempatnya itu Sulit?

Di Muharto ada perumahan perkampungan yang tumbuh sepanjang sungai.

Rep: Wilda Fizriyani / Red: Agus Yulianto
Universitas Brawijaya (UB) mengadakan seminar Tata Kelola Pembangunan Kota  Malang 2019 - 2023: Tantangan dan Isu-isu Strategis di Gedung E, Fakultas  Ilmu Administrasi (FIA) UB, Kota Malang, Senin (11/2).
Foto: Republika/Wilda Fizriyani
Universitas Brawijaya (UB) mengadakan seminar Tata Kelola Pembangunan Kota Malang 2019 - 2023: Tantangan dan Isu-isu Strategis di Gedung E, Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) UB, Kota Malang, Senin (11/2).

REPUBLIKA.CO.ID, Masalah persampahan masih menjadi pekerjaan rumah (PR) Pemerintah Kota (Pemkot) Malang. Hingga kini, pemerintah setempat masih terus berupaya mengurangi kebiasaan membuang sampah sembarangan.

Di dalam kegiatan seminar di Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Brawijaya (UB), salah satu mahasiswa Kurniawan menyampaikan, keluhannya kepada Kepala Barenlitbang, Pemkot Malang, Erik Setyo Santoso. Mahasiswa angkatan 2017 ini menceritakan pengalamannya saat bertemu dengan warga Jalan Muharto, Kedungkandang, Kota Malang. 

Kurniawan bersama kawan-kawanya menyaksikan bagaimana warga membuang sampah di sembarang tempat terutama sungai. Saat ditanyai alasan membuang sampah, kata Kurniawan, warga justru tidak mempermasalahkannya. Mereka menganggap kebiasaan tersebut sudah dilakukan sejak lama sehingga dianggap wajar.

Mendengar cerita tersebut, Kepala Barenlitbang, Pemkot Malang, Erik Setyo Santoso tersenyum seketika. Dia memang sudah mengetahui tabiat warga di lokasi tersebut. "Di Muharto itu salah satu kawasan umum Kota Malang. Ada perumahan perkampungan yang tumbuh sepanjang sungai," ujar Erik di Gedung E FIA, UB, Kota Malang, Senin (11/2).

Edukasi masyarakat tentang masalah sampah memang masih menjadi tugas pemerintah hingga saat ini. Erik mengaku, mengubah kebiasaan buruk ini sangat susah. Tak hanya kalangan bawah, bahkan warga kelas atas pun masih perlu mendapatkan pendidikan ini. 

Karena menyadari budaya yang begitu kuat ini, Erik berpendapat, pemerintah sepertinya perlu melakukan aksi lebih keras. Hal ini telah dirancang melalui perevisian Perda Persampahan yang masih disusun sampai sekarang. Dia berharap, perda yang di dalamnya berisi sanksi dan denda ini bisa direalisasikan tahun ini.

"Denda terhadap pelaku mau mulai ditingkatkan, kita mau buat shock teraphy agar mau buang sampah di tempatnya. Kita sudah tidak mau main halus lagi karena progressnya lama, kita mau yang agak kasar sedikit," tegas Erik.

Di kesempatan serupa, Dosen FIA UB, Oscar Radyan Danar menceritakan, pengalaman dirinya saat menetap selama tiga tahun di Jepang. Di sana, dia menemukan, warga Jepang sangat teliti dan ahli dalam mengelola sampah. Bukan hanya memilah sampah organik dan non-organik, tapi mereka juga  memisahkan warna sampah plastik dalam pengelolaannya.

Semula, Oscar mengaku, tidak terlalu peduli dengan sistem persampahan tersebut. Namun, karena berada di situasi tersebut, Oscar pun terpaksa mengubah kebiasaannya. Budaya memilah sampah pun terbentuk sesuai aturan yang berlaku.

"Karena kalau buang sampah tidak sesuai aturan berlaku, akan didenda, sampah kita tidak akan diangkut. Bahkan ada ketika satu kasus, orang itu di-paranin (jemput) lalu ditanyakan kenapa tidak mau ikuti aturan," tambah dia,

Berkaca dari sistem tersebut, Oscar pun bertanya, apakah Indonesia sudah menerapkan sistem tersebut atau belum. Jawabannya, dia menegaskan, Indonesia terbukti belum memiliki aturan setegas demikian. Hal ini yang menjadi pekerjaan rumah para pemerintah termasuk di daerah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement