Selasa 12 Feb 2019 09:08 WIB

Gunakan Ular Interogasi, ICJR: Polisi Lakukan Penyiksaan

Oknum polisi di Papua gunakan ular untuk interogasi pelaku tindak kejahatan.

Rep: Mabruroh/ Red: Bayu Hermawan
Peneliti ICJR Erasmus Napitupulu (kiri)
Foto: Republika/ Wihdan Hidayat
Peneliti ICJR Erasmus Napitupulu (kiri)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyoroti perbuatan seorang oknum polisi di Papua, yang melakukan pemeriksaan terhadap terduga pelaku kriminal dengan menggunakan ular. ICJR menilai melilitkan ular pada tubuh seseorang untuk mendapat pengakuan atas tindak kriminal yang dilakukannya, termasuk dalam tindakan penyiksaan.

Direktur Program ICJR Erasmus Napitupulu mengatakan, meski Polda Papua telah mengakui bahwa tindakan tersebut salah dan telah meminta maaf, namun ICJR tetap meminta kasus ini diusut tuntas. "Kami meminta agar kasus ini diusut tuntas karena jika tidak, akan ada potensi penggunaan metode yang sama di kasus lain," kata Erasmus dalam siaran pers, Selasa (12/2).

Menurutnya, orang yang diduga melakukan tindak pidana mempunyai hak untuk tidak disiksa dan hak untuk memberikan keterangan secara bebas yang dijamin oleh Konstitusi maupun undang-undang. Di antaranya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Pasal 52 KUHAP menegaskan bahwa dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim. Kemudian pada penjelasan Pasal 54 tersebut juga dinyatakan bahwa supaya pemeriksaan dapat mencapai hasil yang tidak menyimpang daripada yang sebenarnya maka tersangka atau terdakwa harus dijauhkan dari rasa takut. Oleh karena itu wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan terhadap tersangka atau terdakwa.

Selain itu, lanjut Erasmus, sejak 1998, Indonesia telah meratifikasi the United Nations Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT) atau Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia melalui UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan CAT. Di mana Indonesia harus menjamin adanya larangan dalam mendapatkan keterangan menggunakan metode penyiksaan khususnya dalam proses peradilan pidana.

Dengan melihat berbagai UU yang mengatur mengenai penyiksaan yang sudah ada di Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa perbuatan oknum polisi di Papua tersebut merupakan tindakan penyiksaan. Karena dengan melilitkan ular pada tubuh orang yang diduga melakukan pencurian, maka orang tersebut akan merasa tertekan secara psikis sehingga mendorongnya untuk mengakui perbuatan yang dituduhkan kepadanya.

Proses penyidikan yang mengedepankan perolehan pengakuan dari tersangka lanjutnya, memang merupakan jalan paling mudah dalam pembuktian tindak pidana. Akan tetapi, teknik tersebut sudah seharusnya ditinggalkan karena dapat membuka peluang bagi oknum-oknum untuk mengambil jalan pintas yang sama.

"Serta hanya akan melakukan penyiksaan demi mengejar pengakuan hingga juga bisa menyebabkan tersangka mengakui perbuatan yang sama sekali ia tidak lakukan," jelasnya.

Setidaknya sambung dia, terdapat tiga pasal pidana yang bisa digunakan untuk menjerat pelaku penyiksaan. Yakni Pasal 351 ayat (1) KUHP berbunyi Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 353 ayat (1) KUHP berbunyi penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Serta Pasal 422 KUHP , seorang pejabat yang dalam suatu perkara pidana menggunakan barang paksaan, baik untuk memeras pengakuan, maupun untuk mendapatkan keterangan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Oleh karena itu, terkait insiden ini ICJR mendorong agar Kepada Kapolda Papua dan Propam setempat untuk menindak tegas oknum polisi yang bersangkutan. ICJR juga menilai kasus ini bukan merupakan kasus disiplin atau etik semata namun sudah merupakan tindak pidana.

"ICJR juga meminta Kepada Kapolri untuk mengadopsi kebijakan mengenai metode pengumpulan alat bukti yang tidak lagi bertumpu pada keterangan tersangka (pengakuan)," katanya.

Serta untuk memastikan Indonesia menjalankan komitmen dalam pengaturan penyiksaan, ICJR meminta DPR dan Pemerintah untuk memastikan pidana penyiksaan terakomodir dalam Rancangan KUHP.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement