Senin 11 Feb 2019 07:03 WIB

'Susrama Membunuh dan Merusak Kebebasan Pers'

Wapres Jusuf Kalla mengungkap alasan Jokowi mencabut remisi atas Susrama.

Jurnalis dan masyarakat yang tergabung dalam Solidaritas Jurnalis Bali mengikuti aksi damai mendesak pembatalan remisi bagi I Nyoman Susrama di Monumen Bajra Sandhi, Denpasar, Bali, Jumat (1/2/2019).
Foto: Antara/Fikri Yusuf
Jurnalis dan masyarakat yang tergabung dalam Solidaritas Jurnalis Bali mengikuti aksi damai mendesak pembatalan remisi bagi I Nyoman Susrama di Monumen Bajra Sandhi, Denpasar, Bali, Jumat (1/2/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fauziah Mursid

Wakil Presiden Jusuf Kalla mengungkap alasan Presiden Joko Widodo mencabut remisi terhadap I Nyoman Susrama, terpidana pembunuh wartawan Radar Bali, AA Gede Bagus Narendra Prabangsa. Menurut JK, pencabutan itu karena Presiden Jokowi banyak menerima aspirasi dari masyarakat.

Baca Juga

Berdasarkan sspirasi yang masuk, menurut JK, perbuatan Susrama melanggar dua hal, yaitu melakukan kriminalitas dan merusak kebebasan pers. "Tentu Presiden mendengarkan aspirasi masyarakat bahwa kalau pembunuh wartawan ada dua, pertama kriminal, kedua ingin merusak kebebasan pers, jadi dua pelanggaran yang dilakukannya," ujar JK saat ditemui di rumah dinasnya di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta, Ahad (10/2).

JK menilai keputusan untuk memberi maupun mencabut remisi merupakan hak prerogatif seorang presiden. Karena itu, ia menilai tentu keputusan tersebut sudah didasarkan berbagai pertimbangan.

"Ya itu hak prerogatif Presiden. Remisi diberikan oleh menteri, bisa dicabut," ujarnya.

Dunia pers digemparkan oleh keputusan Presiden Jokowi memberikan remisi kepada Susrama pada awal tahun 2019. Remisi itu sontak mendapat tanggapan berbagai pihak, mulai dari keluarga AA Gede Bagus Narendra Prabangsa, organisasi jurnalistik, dan akademisi. Puncaknya, Aliasi Jurnalistik Indonesia (AJI) Bali dan keluarga korban pembunuhan berencana tersebut menyurati Presiden.

Pada Sabtu (2/2), Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Sri Puguh Budi Utami berdialog dengan kalangan jurnalis dari Solidaritas Jurnalis Bali (SJB) di Denpasar. Ia mengatakan, pihaknya akan kembali mengusulkan kepada Presiden Jokowi agar remisi Susrama dicabut.

"Kami yakinkan tidak hanya dikaji saj, karena teman-teman wartawan Bali sudah menyampaikan dengan mekanisme surat dengan alasan yang benar sehingga ini bisa menjadi dasar untuk mengusulkan kembali kepada Presiden Joko Widodo agar mencabut atau membatalkan remisi khusus untuk I Nyoman Susrama," kata Sri.

Sri Utami mengakui pihaknya terus mengingatkan Kepala UP Pas agar berhati-hati dalam mengusulkan narapidana yang akan diajukan remisi serta harus ditelaah dengan baik dan benar kasus dari narapidana yang mau diusulkan.

"Jadi, pihaknya kembali mengatakan, yang mengetahui secara detail jejak para terpidana ini dari UPT Pas. Ini menjadi momentum kami untuk terus mengingatkan jajaran kami agar hati-hati, cermat, dan teliti. Supaya keputusan yang diambil dapat diterima masyarakat juga, meski hanya 75 persen," jelas Sri.

Buntutnya, Presiden Jokowi mengaku telah menandatangani pencabutan remisi tersebut. Hal itu diungkapkan dalam kegiatan puncak Hari Pers Nasional (HPN) di Surabaya, Sabtu (9/2).

Bahan evaluasi

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengapresiasi keputusan Presiden Jokowi mencabut remisi terhadap Susrama. Menurut dia, ini pertama kalinya di Indonesia ada seorang presiden mencabut kembali remisi yang telah diberikan sebelumnya.

"Belum pernah terjadi sebelumnya, ini baru pertama kalinya. Dari sisi hukum boleh saja presiden mencabut remisi itu," kata Ketua Badan Pengurus ICJR, Anggara, Sabtu (9/2).

Menurut dia, secara politis hal ini tentu tidak baik bagi citra presiden. Sebab itu, dia menyarankan agar kelak ada evaluasi untuk mekanisme pemberian hak-hak kepada narapidana. Dalam hal ini, dia mencontohkan, untuk memberikan pengurangan masa tahanan, mekanismenya cukup dengan menggunakan remisi.

Sementara itu, untuk perubahan hukuman, seperti yang terjadi pada Susmara, mekanismenya cukup menggunakan grasi. "Sebaiknya dikembalikan lagi supaya tidak ada tumpang tindih. Karena grasi selain bicara perubahan (hukuman) juga pengurangan (masa tahanan). Nah, kalau memang fokusnya ke perubahan jenis pidana maka itu harus dalam bentuk grasi sebenarnya, jadi jangan pakai remisi lagi," kata Anggara.

Dia menilai, agar hal ini tidak terjadi lagi, perlu ada kepastian hukum yang diatur dalam mekanisme pemberian hak kepada narapidana. "Tidak bagus juga seorang presiden sudah membuat keputusan tiba-tiba dicabut dalam waktu yang tidak lama itu. Secara politis sebetulnya tidak cukup baik untuk seorang presiden, tapi bahwa dia mendengar aspirasi masyarakat itu harus diapresiasi," kata Anggara.

(afrizal rosikhul ilmi ed: ilham tirta)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement