Jumat 01 Feb 2019 03:30 WIB

Soal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Ini Catatan GiGa

pembahasan RUU tidak bisa dipisahkan dengan naskah akademisnya.

Rep: Umi Nur Fadilah/ Red: Agung Sasongko
Aksi Tolak Kekerasan Seksual Ilustrasi
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Aksi Tolak Kekerasan Seksual Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Perkumpulan Penggiat Keluarga (GiGa) Indonesia menilai ada penegasian keluarga dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS). “Kalau saya sebagai ahli keluarga melihat UU ini, ada penegasian terhadap keluarga,” kata Ketua GiGa Indonesia Euis Sunarti kepada Republika.co.id, Kamis (31/1).

Euis menolak pendapatnya itu dihubungkan dengan petisi yang disuarakan Maimon Herawati melalui laman Change.org. Dia menjelaskan, pembahasan RUU tidak bisa dipisahkan dengan naskah akademisnya. Sebab, lahirnya suatu aturan selevel UU, pasti memiliki pertimbangan naskah akademis yang kuat. Naskah akademis akan berisi ihwal bagaimana UU itu diwujudkan, pemikiran apa yang dikembangkan.

Guru besar dari Institut Pertanian Bogor (IPB) itu mengingatkan, hubungan seksual paling umum terjadi dalam keluarga yang dibentuk dari perkawinan yang sah. Karena itu, apabila ingin mengatur ihwal persetujuan dan ketidaksetujuan berhubungan seksual, justru paling banyak di keluarga.

Dia mengatakan, dalam Pasal 11 ayat 3 RUU P-KS disebutkan bahwa kekerasan seksual bisa terjadi dalam keluarga, tempat kerja, ruang publik. Kalau RUU ini diterima, maka yang paling banyak terkena itu hubungan seksual suami istri dalam keluarga.

“RUU ini, dari naskah akademiknya, sampai pasal-pasalnya, seperti tak memperhatikan itu, bahwa pengaturan-pengaturan itu akan berdampak pada ikatan suami istri di dalam melakukan hubungan seks. Itu tak terlihat,” ujar dia.

Euis mempertanyakan ihwal alasan naskah akademis RUU P-KS tidak ada yang mengacu pada UU Perkawinan? Padahal, regulasi tersebut menjadi dasar pernikanahan dan pembangunan keluarga.

“Jadi ada penegasian, apalagi dengan menggunakan definisi kekerasan itu yang cukup panjang. Di mana di dalamya, pemaknaanya kekerasan itu pemaksaaan, manakala ada ketidaksetujuan,” tutur dia.

Euis mencontohkan, pemaksaan dalam kekerasan seksual, seperti pemaksaan pelacuran, aborsi. Namun, apabila ada kesetujuan atas tindakan itu, maka tidak tergolong dalam definisi kekerasan seksual. Dia menyebut pemaknaan itu yang menjadi keberatan beberapa pihak.

“RUU P-KS tidak mengatur norma dari perilaku seksualnya, hanya mengatur perilaku kekerasan atau tidak, jadi memisahkan,” kata dia.

Euis menegaskan perilaku tidak bisa dipisahkan dari norma. Dia mencontohkan, perilaku seksual menyimpang dan dianggap memiliki norma haram dan dilarang, kemudian ada pemaksaan, maka dianggap tak boleh. Namun, apabila tidak ada pemaksaan, maka artinya boleh.

“Itu yang dikomentari banyak pihak. Karena si yang mengembangkan UU ini, kok tak memasukkan itu. Sepertinya ingin memisahkan antara sifatnya yang mengatur kekerasannya, dan mengatur normanya,” ujar dia.

Karena itu, Euis menyebut banyak pihak yang mengusulkan agar tidak ada pemisahan antara perilaku dan norma. Dia beranggapan, apabila RUU P-KS itu tetap dilanjutkan, seharusnya diubah menjadi RUU Penghapusan Kejahatan Seksual. Kemudian, RUU tersebut tidak hanya mengatur kekerasannya, tetapi juga normanya.

“Yang dipersoalkan, ketika dilakukan kekerasan, maka pelacuran menjadi bermasalah. Kalau tak ada kekerasan, pelacuran tak masalah. Karena definisi yang digunakan adalah ketiadaan persetujuan,” tutur Euis.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement