REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Investasi untuk energi terbarukan yang disokong efisiensi energi, diyakini dapat mendorong diversifikasi ekonomi Indonesia dan transisi fiskal akan makin tidak bergantung pada bahan bakar fosil. Demikian laporan dari Global Subsidies Initiative of the International Institute for Sustainable Development.
“Indonesia dapat menumbuhkan ekonominya tanpa memperluas ekstraksi bahan bakar fosil, meskipun sebenarnya ada lebih banyak yang dapat dilakukan untuk membangun sektor energi bersihnya,” kata Philip Gass, Senior Policy Advisor and Lead of IISD’s Indonesia program dalam siaran persnya, Kamis (31/1).
Laporan bertajuk, “Selepas Bahan Bakar Fosil, Transisi Fiskal Indonesia,” menyebut pendapatan dari perpajakan produksi dan konsumsi bahan bakar fosil serta penghematan dari pengurangan subsidi bahan bakar fosil, harus diinvestasikan secara produktif untuk mendukung pembangunan sosial dan diversifikasi ekonomi. Investasi pendapatan pemerintah dari bahan bakar fosil juga harus memperhatikan kepentingan kelompok rentan dan bisa mengurangi biaya hidup mereka.
Area-area investasi misalnya jaring pengaman sosial, layanan kesehatan, pendidikan dan layanan publik lainnya, serta infrastruktur. Investasi ini juga harus menciptakan lapangan pekerjaan baru yang berkelanjutan yang mendukung upaya transisi, termasuk di pedesaan dan daerah yang saat ini bergantung pada bahan bakar fosil.
“Penghargaan buat pemerintah, karena pemerintah telah mereformasi beberapa subsidi bahan bakar fosil, dengan hasil positif,” kata Lucky Lontoh, Koordinator IISD Indonesia.
Sebagai contoh, kata dia, reformasi subsidi pada 2014, Pemerintah Indonesia menghapus subsidi bensin, dan pada saat yang sama dapat melakukan investasi yang lebih besar ke dalam infrastruktur, dan program bantuan sosial.
"Jika Indonesia melakukan lebih banyak reformasi subsidi, kita dapat bergerak lebih cepat untuk membangun energi bersih, dan menghemat pendapatan yang bisa disalurkan untuk investasi yang bermanfaat bagi semua orang," lanjut Lucky.
Indonesia merupakan salah satu dari sedikit negara berkembang yang berhasil mengurangi ketergantungan fiskal pada pendapatan dari produksi bahan bakar fosil, namun tetap mempertahankan pertumbuhan dan diversifikasi ekonomi sebagai sumber pendapatan pemerintah.
Laporan IISD ini menelusuri bagaimana Indonesia membebankan pajak dan mensubsidi minyak, gas, batubara, dan listrik. dan mendapati fakta bahwa di tengah merosotnya harga minyak di pasar dunia, transisi energi bersih tidak hanya akan bermanfaat bagi lingkungan, tetapi juga anggaran pemerintah Indonesia.
Kontribusi penerimaan pajak dan bukan pajak terhadap anggaran Pemerintah Indonesia sangat bergantung pada fluktuasi harga dunia untuk minyak, gas, dan batubara. Dan meskipun harganya fluktuatif, namun secara keseluruhan pendapatan pemerintah sektor ini menunjukan tren penurunan.
Pendapatan pemerintah dari sektor hulu minyak dan gas Indonesia turun drastis dari 35 persen pada 2001 menjadi hanya 6 persen (kurang dari 1 persen dari PDB) pada 2016. Dengan penurunan produksi serta ekspor minyak dan gas plus harga yang tidak pasti di pasar dunia, pendapatan dari sektor bahan bakar fosil berisiko terjun lebih jauh dalam waktu dekat.
Dalam beberapa dekade terkahir, pemerintah Indonesia berupaya mendorong pengembangan sektor manufaktur, keuangan, dan lainnya. Seiring dengan pertumbuhan, sektor-sektor tersebut membayar pajak lebih besar.
Terlepas dari penurunan peran sektor bahan bakar fosil, selama 2001-2016,tingkat pertumbuhan PDB Indonesia (3-4 persen per tahun) dan defisit anggaran (pada 2-3 persen) tetap tidak berubah. Sepanjang 2014-2016, Pemerintah Indonesia menghimpun rata-rata Rp 190 triliun (USD 16 miliar) dari pendapatan pajak dan bukan pajak hulu minyak dan gas.