REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang perempuan berdiri di tengah panggung Balai Agung yang ada di Balai Kota DKI Jakarta. Ia berdiri di hadapan orang nomor satu di ibu kota, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan beserta jajarannya di Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta.
"Saya salah satu perempuan yang terinfeksi HIV. Saya terinfeksi HIV sejak 2005 dan pada saat itu di tahun yang sama saya juga melahirkan anak yang ke dua," ujar Bunga (nama samaran) yang berusia 38 tahun itu, Rabu (30/1).
Ia dengan lantang menceritakan apa yang dialaminya. Ia terkena virus HIV yang ditularkan suaminya. Ketika itu, suami Bunga pun sedang dalam kondisi sakit.
Bunga hanya memikirkan cara agar virus HIV yang berada dalam tubuhnya tak ia turunkan ke anaknya yang masih dalam kandungan. Ia berjuang agar HIV itu tak tertular kepada anaknya.
"Pada saat saya dalam kondisi hamil dan suami saya sedang sakit. Di situlah saya diperkenalkan dengan program PPIA atau pencegahan penularan dari ibu ke anak," kata Bunga.
Ia merasa bersyukur di momen yang tepat mengetahui cara agar HIV tak tertularkan kepada anaknya. Ia rutin mengikuti program pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi yang di kandungnya (PPIA).
Bunga mengatakan, bagi orang tua penyintas HIV/AIDS (ODHA) tak usah khawatir, tak usah pantang menyerah. Setiap perempuan dengan HIV positif masih bisa memiliki anak negatif HIV.
"Program ini (PPIA) penting sekali, karena dengan program ini perempuan HIV positif bisa memiliki anak dengan HIV negatif," kata dia.
Dua tahun setelah Bunga dinyatakan terjangkit virus HIV, pada 2007 suaminya pun meninggal. Kemudian pada 2013, ia dipertemukan dengan jodohnya dan menikah. Bunga pun kini memiliki suami yang sama-sama mengidap HIV.
Ia dipertemukan pasangannya di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang juga bergerak di bidang HIV/AIDS. Dari pernikahannya yang kedua itu, Bunga dikaruniai seorang anak.
Ia kembali bersyukur, anaknya pun memiliki HIV negatif. Di samping itu, ia meminta agar perempuan yang ada di Indonesia terutama di Jakarta, memeriksakan kesehatan HIV/AIDS sejak dini.
Berdasarkan data yang dilaporkan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, sejak pertama kali ditemukan sampai dengan Juni 2018, HIV/ AIDS telah dilaporkan keberadaannya oleh 433 (84,2 persen) dari 514 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia.
Jumlah kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan sampai dengan Juni 2018 sebanyak 301.959 jiwa. Angka itu merupakan 47 persen dari estimasi ODHA jumlah orang dengan HIV AIDS tahun 2018 sebanyak 640.443 jiwa.
Adapun provinsi dengan jumlah infeksi HIV tertinggi adalah DKI Jakarta (55.099 jiwa). Kemudian diikuti Jawa Timur (43.399 jiwa), Jawa Barat (31.293 jiwa), Papua (30.699 jiwa), dan Jawa Tengah (24.757 jiwa).
"Dan paling banyak ditemukan di kelompok umur 25-49 tahun dan 20-24 tahun," tulis Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan dalam beritas di situs resminya tertanggal 1 Desember 2018.
Jumlah kasus HIV yang dilaporkan terus meningkat setiap tahun, sementara jumlah AIDS relatif stabil. Hal ini menunjukkan keberhasilan semakin banyak orang dengan HIV /AIDS (ODHA) yang diketahui statusnya saat masih dalam fase terinfeksi (HIV positif) dan belum masuk dalam stadium AIDS.
Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Widyastuti meminta warga ibu kota berperan aktif mendeteksi kesehatan. Ia tak memungkiri masih ada stigma negatif dan diskriminasi terhadap penyintas HIV/AIDS.
"Untuk HIV kita mempunyai prediksi secara nasional adalah 100 ribu. Kami masih ketemu sekitar 55 ribu, 60 persen menemukan (kasus HIV/AIDS)," kata Widyastuti.
Untuk itu, Dinas Kesehatan DKI meluncurkan aplikasi berbasis website Jak-Track. Berisi sistem informasi yang terintegrasi ini dapat dimanfaatkan warga Jakarta. Setiap warga ibu kota dapat melakukan pendaftaran online untuk tes HIV.
Nantinya, pasien HIV juga akan mendapatkan rujukan antarlayanan, termasuk penjadwalan dan pemantauan kegiatan mentoring klinis dan program ke fasilitas kesehatan.
Widyastuti mengatakan, Pemprov DKI Jakarta berkomitmen menjadi bagian dari kesepakatan global dalam rangka menurunkan kasus penyebaran virus HIV/AIDS, diantaranya Fast Track: Ending the AIDS Epidemic by 2030 dengan target 90-90-90.
Ia memaparkan, maksud dari target tersebut adalah 90 persen orang mengetahui status HIV-nya. 90 persen orang dengan HIV positif mengakses pengobatan antiretroviral therapy (ART). Sebanyak 90 persen orang yang berada dalam pengobatan mengalami supresi virus HIV.