Rabu 30 Jan 2019 08:55 WIB

Pemprov Didesak Putuskan Kontrak Swastanisasi Air

Anies mengaku sudah menyiapkan tim untuk memutus kontrak dua perusahaan air

Rep: Farah Noersativa/ Red: Bilal Ramadhan
Puluhan warga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) melakukan mandi bersama saat aksi unjuk rasa di Depan Gedung Balai Kota Jakarta, Kamis (22/3).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Puluhan warga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) melakukan mandi bersama saat aksi unjuk rasa di Depan Gedung Balai Kota Jakarta, Kamis (22/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Anggota tim advokasi Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ), Nelson Nikodemus Simamora, mendesak Pemerintah Provinsi (pemprov) DKI Jakarta untuk tetap mengakhiri kontrak dengan perusahaan swasta pengelola air di DKI Jakarta. Itu harus tetap dilakukan meski peninjauan kembali (PK) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terkait putusan swastanisasi telah dikabulkan.

“Sandaran bagi gubernur itu bukan hanya putusan MA yang kemudian menolak, terus kemudian, dianggap bahwa swastanisasi legal gitu. Tidak seperti itu,” jelas Nelson kepada Republika, Selasa (29/1).

Menurut dia, ada sebuah putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu Nomor 85 Tahun 2013, yang menyebut sumber daya air harus dikuasai negara melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Dalam putusan itu pula, kata dia, terdapat syarat-syarat yang ketat bila sumber daya air akan diserahkan kepada perusahaan swasta.

Oleh sebab itu, menurut dia, meski semua pihak, termasuk pemprov, masih menunggu salinan putusan amar pengkabulan PK oleh kemenkeu, pemprov seharusnya juga patuh terhadap putusan MK itu. Pemprov harus selalu berusaha agar pengelolaan sumber daya air dapat kembali ke negara.

“Misalnya putus kontrak, kan biayanya murah itu daripada beli triliunan rupiah sahamnya,” ujar dia.

Berbeda dengan Nelson, Ketua Fraksi Demokrat-PAN DKI Jakarta Taufiqurrahman meminta pemprov untuk mematuhi apa yang menjadi putusan dari MA. Dia sepakat dengan langkah pemprov yang sampai sekarang menunggu salinan putusan amar terkabulnya PK yang diajukan oleh Kemenkeu.

“Terkait dengan putusan hukum, dia pasti memang menunggu sampai inkrah, yaitu tunggu sampai ada putusan PK,” kata Taufiq kepada Republika, Selasa (29/1).

Menurut Taufiq, walau sudah kalah di pengadilan negeri (PN), kemudian di pengadilan tinggi (PT) lalu kasasi, upaya hukum terakhir adalah PK. Artinya, bila memang telah mencapai tahap itu, pemprov harus menaati putusan pengadilan.

Namun, dia menerangkan, secara prinsip, Fraksi Demokrat berharap sumber daya air jangan sampai dikuasai swasta seluruhnya. Sebab, sumber daya air merupakan kebutuhan hidup orang banyak.

Ia mengatakan, rujukan tertinggi di Indonesia adalah konstitusi. Dalam konstitusi, kata dia, jelas bahwa bumi termasuk sumber daya air dan juga kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara.

“Dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kalau dipegang oleh swasta, kan bisnis belaka yang terjadi,” ujar dia.

Dia menekankan, perusahaan swasta dimungkinkan untuk turut mengelola sumber daya air. Namun, pengelolaan keseluruhan harus dilakukan oleh negara. “Ya, bisa swasta ikut boleh dalam penyediaan, dalam penyulingan air menjadi bersih atau apalah. Mereka kan punya teknologi. Tapi, tidak hulu ke hilir,” ujar dia.

Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan membenarkan kabar bahwa PK yang diajukan Kemenkeu terkait swastanisasi air dikabulkan oleh MA. Putusan tersebut keluar pada 30 November 2018.

Menurut dia, ia tak mengajukan PK atas putusan MA tersebut. Artinya, pemprov menerima putusan itu dan bahkan, kata dia, pihaknya telah menyiapkan langkah-langkah sebelum memutus kontrak terhadap kedua perusahaan swasta, yaitu PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta (Aetra).

“Kami langsung menyiapkan tim untuk menyiapkan fase-fase transisinya dan sebetulnya sudah hampir final,” ujar Anies di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (28/1) lalu.

Pemprov sendiri, kata dia, juga belum bisa membuat langkah resmi berikutnya. Dia menyebutkan, pihaknya harus melihat salinan putusan PK tersebut. Dia mengaku belum melihat salinan putusan tersebut meski telah diputuskan pada 30 November lalu.

Dia juga memastikan, hasil PK tersebut tidak akan mengganggu langkah-langkah rencana berikutnya untuk memutuskan kontrak dengan kedua perusahaan swasta tersebut. Namun, dia menegaskan akan tetap mengkaji dan memprosesnya sampai final sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

“Kita dapat informasi itu sekitar minggu lalu. Dan pada saat terima informasi itu, saya bilang, kita tunggu sampai keluar salinannya. Tunggu dulu sebentar sampai hukumnya aman,” ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement