Kamis 24 Jan 2019 17:45 WIB

NII Center: Hanya Butuh 20 Menit Ajak Mahasiswa Jadi Radikal

Pola-pola perekrutan kalangan radikal berbeda-beda seusai konteks kebutuhan.

Demo anti-Negara Islam Indonesia (NII) di Jakarta.
Foto: Antara
Demo anti-Negara Islam Indonesia (NII) di Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU— Mantan petinggi kelompok radikal Negara Islam Indonesia (NII), Ken Setiawan, yang kini mendirikan NII Center, organisasi yang aktif mencegah dan mewaspadai pergerakan kelompok radikal, memberikan sosialisasi pada ratusan mahasiswa di Provinsi Riau.

Dalam paparannya dihadapan seratusan mahasiswa di Kota Pekanbaru, Kamis (24/1), Ken mengatakan hanya butuh waktu singkat bagi perekrut mahir NII untuk mempengaruhi pemikiran mahasiswa. Perekrut aktif NII periode 2000-2003 itu mengatakan, mahasiswa dan pelajar merupakan target utama kelompok radikal.

"Saya pernah mendapat penghargaan perekrut terbaik saat masih menjadi anggota NII sekitar tahun 2000 lalu. Hanya butuh 20 menit memengaruhi target, terutama mahasiswa untuk menerima paham NII," kata Ken mengawali pemaparannya dalam Diskusi Indonesia Damai Tanpa Hoax, Intoleransi, dan Ekstremisme.

Kegiatan yang diinisiasi Mabes Polri tersebut turut menghadirkan Ketua Forum Koordinasi Penanggulangan Teroris (FKPT) Riau, Saifunnajar, dan Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Riau, Zulhusni Domo.

Ken menjelaskan pergerakan NII pada dua dekade lalu menyasar kalangan muda, terutama mahasiswa yang jauh dari pengawasan orang tua.

Cuci otak, atau sebutan umum praktik perekrutan tersebut memanfaatkan kelemahan pemahaman mahasiswa tentang Islam serta sikap tidak kritis. 

Ia menjelaskan mahasiswa yang tidak kritis akan sangat mudah untuk dipengaruhi dan menelan mentah-mentah paham kelompok radikal.

Sementara itu, seorang mahasiswa yang sudah terpengaruh paham radikal akan mudah untuk dikendalikan. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan mahasiswa dengan mudahnya membohongi orang tua.

"Seperti meminta uang kuliah, padahal mereka sudah drop out. Ada juga kasus mahasiswa di UGM yang meminta uang hingga Rp 300 juta pada orang tua untuk mengganti alat laboratorium, padahal dia sudah DO," ungkap dia. 

Seiring waktu berjalan, Ken mengatakan perekrutan kelompok radikal terus berubah. Berbeda pada awal tahun 2000-an, saat ini pergerakan kelompok radikal lebih fleksibel. Mereka dengan mudahnya menjadi "bunglon" di tengah-tengah masyarakat.

Pola perekrutan juga berbeda, jika sebelumnya dilakukan di kampus kini mereka melakukannya di "food court". 

Bahkan, mereka juga memanfaatkan alumni kampus sebagai jembatan perekrutan mahasiswa. Hal itu yang sebelumnya terjadi di Universitas Riau, saat Densus 88 menangkap tiga terduga teroris medio 2018 lalu.

"Ini yang harus kita waspadai. Peduli dengan lingkungan dan perbanyak kegiatan positif," ujar Ken.

 

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement