Kamis 24 Jan 2019 15:32 WIB

Pemilu 2019: Split-Ticket Voting Terjadi di Semua Parpol

Split-ticket voting membuat pilihan parpol seseorang tak sama dengan pilihan pilpres.

Cetak Perdana Surat Suara Pemilu. Surat suara pemilihan Presiden Pemilu 2019 hasil cetakan perdana di Jakarta, Ahad (20/1/2019).
Foto: Republika/ Wihdan
Cetak Perdana Surat Suara Pemilu. Surat suara pemilihan Presiden Pemilu 2019 hasil cetakan perdana di Jakarta, Ahad (20/1/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Antara

Indikator Politik Indonesia mengadakan survei soal split-ticket voting pada Pemilu 2019. Hasilnya, ditemukan besarnya gejala split-ticket voting di semua parpol.

Peneliti Indikator, Rizka Halida menjelaskan, fenomena split-ticket voting terjadi saat pemilih berbeda pilihan antara parpol dan capres-cawapresnya. Kondisi split-ticket voting membuat pilihan parpol seseorang tak sama dengan pilihan capres-cawapres.

Baca Juga

Fenomena ini, kata Rizka, menarik karena pileg dan pilpres kali ini diadakan bersamaan untuk pertama kalinya di Indonesia. Pilihan elite partai yang tidak sejalan dengan keinginan basis massa mereka.

Khusus dalam Koalisi Indonesia Kerja, survei Indikator menunjukkan split-ticket voting  tertinggi terjadi pada Partai Hanura, PPP dan Golkar. Pemilih dari tiga partai itu rata-rata 30 persennya  akan memilih Prabowo-Sandiaga di pilpres.

Sementara, basis pemilih PKPI, PSI dan PDIP relatif loyal tetap mendukung Jokowi-Ma'ruf. PKPI menjadi partai paling solid dengan 100 persen pemilihnya mendukung paslon nomor urut 01.

Di posisi kedua, PSI sebanyak 91,9 persen pemilihnya memilih Jokowi-Ma'ruf. Sebanyak 90,1 persen basis PDIP memilih Jokowi-Ma'ruf. "Sementara, 6,0 persen berpaling ke Prabowo-Sandi. Sebanyak 3,9 persen tidak menjawab."

Partai pengusung lainnya seperti PKB, NasDem, dan Perindo mengalami split-ticket voting di kisaran angka 20 persen. Dari data tersebut, Rizka menyimpulkan, 75,9 persen basis pemilih Jokowi-Ma'ruf dari sembilan partai koalisinya dinyatakan loyal kepada pasangan 01. Sedangkan, pemilih yang masih split atau bisa berubah mencapai 24,1 persen.

Untuk koalisi parpol pendukung Prabowo-Sandiaga juga terjadi split-ticket voting. Rincian persentase terbelahnya dukungan yaitu Gerindra (14,1 persen), PKS (21), PAN (26).

"Basis massa PKS dan PAN terbelah ke kubu Jokowi-Ma'ruf. Sekitar 21-26 persen memilih nomor urut 01," kata Rizka.

Split-ticket voting paling banyak terjadi di Partai Berkarya. Sebanyak 44,8 persen pemilih Partai Berkarya memilih Prabowo-Sandi, namun 42,1 pemilih Partai Berkarya akan memilih pasangan calon nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin.

Selain itu, pemilih Partai Demokrat juga terbelah mendukung Prabowo-Sandi 54,1 persen. Sementara, sebanyak 40,5 persen pemilih Partai Demokrat memilih paslon nomor urut 01.

"Pada kelompok partai koalisi pendukung Prabowo-Sandi, Demokrat dan Berkarya paling banyak terbelah mendukung pejawat," kata Rizka.

Pemilih Partai Gerindra menjadi yang paling solid memilih Prabowo-Sandi dengan persentase sebesar 81,5 persen. Sebesar 14,1 persen pemilih Gerindra memilih Jokowi-Maruf, sisanya tidak menjawab atau tidak tahu.

Dengan demikian, ia meyakini tak ada parpol yang dapat terhindar dari split-ticket voting sampai 100 persen. Sebab, fenomena itu wajar terjadi sebagai bagian dari dinamika politik.

"Secara umum hampir tak ada parpol di mana basis pemilihnya selalu linear dengan arah dukungan partai pada capres-cawapres," ucapnya.

Survei Indikator dilakukan pada 16-26 Desember 2018 dengan melibatkan 1.220 responden yang dipilih secara random (multistage random sampling). Metode survei menggunakan wawancara tatap muka oleh pewawancara yang telah dilatih. Margin of error survei ini plus minus 2,9 persen pada tingkat kepercayaan sebesar 95 persen.

Wakil Ketua TKN Jokowi-Ma'ruf, Johny G Plate merasa tak tahu pasti penyebab terjadinya split-ticket voting. Namun, ia menuding serangan hoaks kubu Prabowo-Sandi ikut mempengaruhi hal itu. Sebab, serangan semacam itu menyerang langsung psikologis pemilih.

"Ini ada faktor lain yaitu strategi hoaks di ruang publik. Ini pengaruhi perasaan pemilih bukan akalnya. Hasil ini cenderung ganggu psikologis pemilih," duganya.

Walau begitu, ia optimis TKN bakal semakin solid jelang hari pencoblosan pada 17 April 2019. Langkahnya dengan kampanye intensif bersama.

"Split voting bakal membaik 86 hari ke depan karena TKN fokus tangkal hoaks. Ini tidak untungkan Indonesia, walau bisa menang," tuturnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement