Rabu 23 Jan 2019 09:29 WIB

Saat Eni Saragih 'Bernyanyi' di KPK

Eni mengaku meminta uang dari Kotjo untuk pemenangan Idrus Marham.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Elba Damhuri
Setnov Meminta Proyek PLN. Terdakwa kasus proyek PLTU-1 Eni Maulani Saragih usai menjalani persidangan lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (22/1/2019).
Foto: Republika/ Wihdan
Setnov Meminta Proyek PLN. Terdakwa kasus proyek PLTU-1 Eni Maulani Saragih usai menjalani persidangan lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (22/1/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Anggota nonaktif Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih mengaku menerima 10 ribu dolar Singapura dari staf Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasious Jonan. Dalam sidang pemeriksaan terdakwa kasus suap dan gratifikasi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Eni mengaku uang dari staf Jonan diterimanya seusai memimpin rapat di DPR.

“Saya sedang rapat, sedang memimpin rapat di DPR, begitu selesai rapat, stafnya Pak Jonan mengatakan, 'ini dari Pak Jonan, ini untuk kegiatan dapil (daerah pemilihan)', ya, sudah saya terima saja, saya simpan,” kata Eni Maulani Saragih di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (22/1).

Namun, politikus Partai Golkar itu mengaku tidak mengetahui alasan staf menteri ESDM tersebut memberikan uang kepada dirinya. Mantan pimpinan komisi VII DPR ini mengatakan tidak pernah meminta uang pada Jonan.

“Saya tidak tahu terkait dengan apa, saya tidak pernah minta. Akan tetapi, karena saat itu sedang riweuh (ribet) jadi saya terima saja saat itu,” ungkap Eni.

Dalam sidang pemeriksaan terdakwa tersebut, jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menanyakan siapa nama staf Jonan yang memberikannya uang. Eni hanya menjawab singkat bahwa nama staf Jonan yang memberinya 10 ribu dolar Singapura adalah Hadi.

Sosok yang dimaksud adalah Staf Ahli Bidang Keterbukaan Informasi Kementerian ESDM Hadi Mustofa Djuraid. Komisi VII DPR RI sendiri bermitra dengan Kementerian ESDM yang mengurusi bidang energi sumber daya mineral, riset, teknologi, serta lingkungan hidup.

Eni pun mengaku menyesal dengan perbuatannya. Namun, dia tidak tahu bahwa dirinya berbuat salah.

“Saya menyesal. Akan tetapi, saya tidak tahu apa yang saya lakukan salah. Saat itu situasinya terang benderang, penerimaan dengan kuitansi, di kantor, semua tidak ditutupi, makanya saya kaget saat saya di-OTT KPK, saya lupa sebagai anggota DPR yang dibatasi jabatan saya sebagai pejabat negara tidak boleh (menerima), saya baru tahu,” ungkap Eni.

Masih dalam persidangan, Eni juga mengakui pernah meminta uang kepada pemegang saham Blackgold Natural Resources (BNR) Ltd Johanes Budisutrisno Kotjo untuk keperluan musyawarah nasional luar biasa (munaslub) Partai Golkar. Awalnya, Eni beranggapan pemberian uang dari Kotjo tersebut tidak melanggar hukum.

"Bagi saya, pengusaha menyumbang buat partai, apalagi dari sesuatu yang halal ya tidak ada masalah," ujar Eni.

Menurut Eni, sejak awal Kotjo telah memberitahu bahwa dia akan mendapat jatah atas jasanya membantu Kotjo mendapatkan proyek pembangkit listrik. Eni akan mendapat bagian dari agen fee sebesar 2,5 juta dolar AS yang diterima Kotjo dari investor Cina.

"Pak Kotjo bilang, dia dapat 2,5 persen dan ini halal. Saya tanya kenapa halal, dia bilang saya dapatkan agen fee dan bayar pajak," kata Eni.

Dalam dakwaan disebutkan bahwa Kotjo pada 2015 mencari investor dan mendapatkan CHEC Ltd sebagai investor proyek. Kesepakatannya, bila proyek berjalan, Kotjo mendapat fee sebesar 2,5 persen atau sekitar 25 juta dolar AS dari perkiraan nilai proyek 900 juta dolar AS.

Dari jumlah tersebut, Eni diduga juga akan mendapat bagian 3,5 persen atau sekitar 875 ribu dolar AS. Fee itu yang kemudian dipakai Eni untuk sejumlah kegiatan Partai Golkar, termasuk munaslub pada Desember 2017.

JPU KPK Ronal Worotikan menegaskan kembali maksud permintaan uang kepada Kotjo seperti dalam BAP Eni. Dalam BAP, Eni mengaku meminta sebesar 3 juta dolar AS dari Kotjo karena diminta Idrus Marham untuk keperluan pemenangan ketua umum Golkar. Namun, kata dia, permintaan uang tersebut urung terlaksana karena perubahan politik internal Golkar.

“Pada saat itu politik berubah, Bang Idrus tidak lagi dikondisikan menjadi ketua umum, tetapi Pak Airlangga. Saya mengatakan kepada Pak Kotjo tidak jadi karena politik berubah, semua dikondisikan Pak Airlangga jadi ketua umum karena sudah persetujuan presiden. Jadi, 3 juta dolar AS itu tidak pernah ada,” kata Eni.

“Namun, sebelumnya minta 400 ribu dolar Singapura?” tanya JPU KPK Ronald.

“Iya, itu sama. Pengondisian juga. Tidak diberikan Pak Kotjo kepada saya karena saya ditunjuk sebagai bendahara munas, jadinya saya minta untuk munaslub. Bagi saya itu berarti menyumbang buat partai, apalagi dari sesuatu yang halal,” jawab Eni.

Menurut Eni, uang yang dia minta dari Kotjo berbeda antara uang untuk pengondisian Idrus Marham sebagai ketua umum dan keperluan munaslub.

Sebelumnya, kuasa hukum Eni berniat menghadirkan Menteri ESDM Ignasius Jonan pada persidangan pekan lalu. Namun, Jonan berhalangan hadir sebagai saksi untuk meringankan terdakwa Eni.

“Rencananya tujuh saksi meringankan, tapi ada satu orang yang awalnya bersedia ternyata sakit, kemudian Menteri ESDM Pak Jonan, juga menyampaikan surat bahwa beliau ke Kamboja pada 14-16 Januari, dan Pak Mekeng menyatakan tidak bersedia untuk bersaksi,” kata pengacara Eni, Rudy Alfonso, Selasa (15/1) pekan lalu.

(antara ed: agus raharjo)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement