Selasa 22 Jan 2019 13:18 WIB

OSO Pastikan tak akan Serahkan Surat Pengunduran Diri

OSO justru menempuh empat langkah hukum untuk menghadapi polemik pencalonannya

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Esthi Maharani
Ketua DPD RI - Oesman Sapta Odang
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Ketua DPD RI - Oesman Sapta Odang

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Oesman Sapta Odang (OSO) memastikan tidak akan menyerahkan surat pengunduran diri sebagai pengurus Partai Hanura kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). OSO justru menempuh empat langkah hukum untuk menghadapi polemik pencalonannya sebagai anggota DPD.

"Benar bahwa beliau tidak akan menyampaikan surat pengunduran diri," ujar kuasa hukum OSO, Herman Abdul Kadir ketika dikonfirmasi pada Selasa (22/1).

KPU memberikan waktu kepada OSO untuk menyerahkan surat pengunduran diri hingga pukul 24.00 WIB, Selasa malam. Jika surat tersebut disampaikan sebelum batas waktu berakhir, KPU akan langsung memasukkan nama OSO ke dalam daftar calon tetap (DCT) calon anggota DPD Pemilu 2019.

Selain itu, nama dan foto senator asal Kalimantan Barat itu pun bisa langsung dimasukkan dalam surat suara pemilihan calon anggota DPD. Sebab, dalam Pemilu 2019 OSO pun mendaftar sebagai calon anggota DPD dari Provinsi Kalimantan Barat. Sebaliknya, jika OSO tidak menyerahkan surat pengunduran diri hingga Selasa tengah malam, maka KPU memastikan namanya tidak masuk ke dalam DCT maupun surat suara.

Lebih lanjut Herman menjelaskan pihaknya telah menempuh empat langkah hukum untuk melawan KPU. Pertama,  menyampaikan surat eksekusi dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) kepada KPU. Surat eksekusi ini sudah diserahkan kepada KPU pada Senin (21/1). 

"Kami akan menunggu selama tiga hari, apakah KPU menjalankan perintah surat eksekusi ini atau membangkang," tegas Herman.

Surat eksekusi ini meminta KPU langsung memasukkan nama OSO ke dalam DCT tanpa harus mengundurkan diri. Surat tersebut juga meminta KPU untuk menerbitkan Surat Keputusan (SK) baru untuk mengganti dari SK 1130 yang sudah dibatalkan oleh PTUN.

Jika KPU tidak mengindahkan surat eksekusi itu, maka PTUN akan membuat pengumuman di media cetak. Pengumuman itu berisi KPU tidak menjalankan putusan pengadilan.

"Ini sesuai aturan pada pasal 116 UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. PTUN akan mengumumkannya," tutur Herman.

Setelah itu, kuasa hukum OSO akan kembali berkirim surat kepada PTUN. Isi suratnya meminta PTUN untuk mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan DPR. Presiden dan DPR bisa memanggil, menegur dan memerintahkan KPU menjakankan putusan pengadilan.

Langkah kedua, lanjut Herman, meminta Bawaslu melaporkan KPU ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Ini berkaitan dengan sikap KPU yang menurut dia belum menjalankan putusan Bawaslu soal dugaan pelangggaran administrasi dalam pencalonan OSO.

"Kami minta Bawaslu agar melaporkan KPU ke DKPP karena sesuai UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, putusan Bawaslu wajib dijalankan KPU tiga hari sejak dibacakan. Jika tidak dijalankan, maka Bawaslu bisa mengadukan KPU ke DKPP," ungkap Herman.

Langkah ketiga, kuasa hukum OSO kembali melaporkan KPU atas dugaan pelanggaran administrasi Pemilu ke Bawaslu. Objek  laporannya adalah surat KPU Nomor 60/PL.01-SD/03/KPU/1/2019 tanggal 15 Januari 2019 perihal pelaksanan putusan Bawaslu. KPU dianggap tidak mentaati putusan Bawaslu tanggal 9 Januari.

"Keempat, kami melaporkan Ketua dan Komisioner KPU ke Polda Metro Jaya karena tidak melaksanakan perintah undang-undang atau tidak menjalankan putusan PTUN atau Bawaslu," tutur dia.

Laporan ke Polda Metro Jaya ini tertanggal 16 Januari 2019 dengan NomorLP/334/1/2019/PMJ/Dit.Reskrimum. Pihak yang dilaporkan adalah Ketua KPU Arief Budiman dan enam komisioner KPU. Mereka dianggap melanggar Pasal 421 KUHP jo 216 ayat (1) KUHP karena tidak melaksanakan perintah undang-undang atau tidak menjalankan putusan PTUN atau Bawaslu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement