Rabu 16 Jan 2019 07:48 WIB

Impor Melejit, Defisit Terburuk Sepanjang Sejarah

Darmin menyebut defisit menunjukkan ekonomi berjalan.

Rep: Haura/Sapto/Fikri/ Red: Teguh Firmansyah
Faisal Basri
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Faisal Basri

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca dagang pada Desember 2018 kembali mengalami defisit  sebesar 1,1 miliar dolar AS. Dengan demikian, telah terjadi defisit neraca dagang selama tiga bulan berturut-turut sejak Oktober 2018.

Sehingga, total defisit neraca dagang sepanjang 2018 adalah sebesar 8,57 miliar dolar AS. Selama 2018, Indonesia hanya mengalami surplus selama tiga kali yakni pada Maret, Juni, dan September.

Ekonom Senior Universitas Indonesia (UI), Faisal Basri, mengatakan, Januari sampai November 2018 defisit neraca dagang sudah mencapai rekor terlebar sepanjang sejarah yakni sebesar 7,5 miliar dolar AS.  Kemudian jumlahnya meningkat menjadi 8,5 miliar dolar AS pada 2018. "Ini terburuk sepanjang sejarah," ujarnya, Selasa (15/1). 

Penyebab defisit berasal dari sektor migas dan nonmigas. Menurut Faisal defisit migas meningkat, namun yang sangat disayangkan surplus nonmigas menciut tajam.

"Jadi, tidak sepenuhnya tepat penyebab utamanya migas, sedangkan di nonmigas terdiri ekspor dan impor. Ekspor naik tapi impor naik tiga kali lipat dari kenaikan ekspor," ucapnya.

Menurut Faisal, defisit juga disebabkan oleh impor terkait proyek infrastruktur seperti baja yang meningkat tajam sekali. Sadar atau tidak, kata ia, di dalam tubuh pemerintah itu ada petinggi atau menteri yang membuat 'jalan tol' untuk memuluskan impor. "itu harusnya yang harus diperhatikan," jelasnya.

Baca juga, Rekor Defisit Neraca Dagang, Ini Respons Istana.

Dulu, kata ia, baja kalau pun mau impor, harus rekomendasi dari Kementrian Perindustrian  (Kemenperin). Sekarang tidak perlu dan ini seperti bergerilya menjadi rente.

Menurut Faisal, menteri perdagangan semestinya mendorong ekskpor setinggi-tingginya dan menjaga tidak menciptakan 'jalan tol' buat impor.  "Namun, impor garam naik. Yang melakukan bukan Kemendag tetapi Kemenperin. Ekspor gula pun naik sejak 2016 padahal kebutuhannya tidak sebesar yang semestinya. Impornya tumbuh lebih tajam, terbukti dari stok yang meningkat," ucapnya.

Impor gula dari Januari sampai November mencapai yang tertinggi sepanjang pemerintahan Jokowi. Jumlahnya menyentuh 2,2 juta ton. Tak hanya itu, impor ban pada tahun lalu meningkat 100 persen. Begitu pula beras yang surplus 2,8 juta ton, tapi tetap impor.

"Saya masih yakin memburuknya transaksi perdagangan selain minyak, juga diakibatkan dengan diciptakannya jalan tol oleh Kementrian Perdagangan," ujarnya.

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), defisit pada tahun ini adalah yang terbesar sejak 1975. Sejak 1975, Indonesia baru kembali mengalami defisit perdagangan pada 2012 yakni sebesar 1,7 miliar dolar AS.

Kemudian, defisit kembali terjadi pada 2013 sebesar 4,08 miliar dolar AS dan pada 2014 sebesar 2,2 miliar dolar AS. "1975 terjadi defisit 391 juta dolar AS. Memang ini (defisit 2018) besar," kata Kepala BPS Suhariyanto di Jakarta, Selasa (15/1).

Defisit neraca dagang pada 2018 disebabkan defisit migas sebesar 12,4 miliar dolar AS. Angka itu tidak mampu mengkompensasi surplus nonmigas yang hanya sebesar 3,8 miliar dolar AS. Defisit perdagangan melorot jauh dibandingkan 2017 yang justru surplus 11,84 miliar dolar AS.

Ekonomi berjalan

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menilai, defisit neraca dagang sebesar 8,57 miliar dolar AS pada 2018 merupakan dampak laju pertumbuhan ekonomi Indonesia.

"Jadi pertumbuhan ekonomi kita itu defisitnya di neraca dagang besar, itu justru di satu pihak karena ekonominya jalan," kata Darmin di kantor Kemenko Perekonomian, Selasa (15/1).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement