REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berada di wilayah cincin api pasifik, Indonesia sangat rentan mengalami bencana. Sebagai bentuk kesiapsiagaan bencana, sejumlah langkah telah dilakukan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) seperti mendorong penerapan building code, pembangunan rumah tahan gempa, pembangunan Tempat Evakuasi Sementara (TES) dan ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai zona evakuasi.
“Bencana tsunami yang terjadi di Sulawesi Tengah, Banten dan Lampung menjadi pelajaran yang berharga bagi Indonesia bahwa perencanaan dan kesiapan infrastruktur dan kesiagaan masyarakat mengantisipasi potensi bencana harus dievaluasi untuk ditingkatkan di seluruh Indonesia,” ujar Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono melalui keterangan pers, Selasa (15/1).
Pembangunan TES dilakukan Kementerian PUPR bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di beberapa daerah yang memiliki risiko bencana tsunami tinggi. Pada 2014-2015, konstruksi 12 TES dengan desain teknis dari BNPB telah selesai.
Untuk mengoptimalkan pemanfaatan dan pemeliharaan TES, Kementerian PUPR menghibahkan seluruh TES tersebut menjadi aset Pemerintah Daerah (Pemda) pada 2017. Dengan harapan TES dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesiapsiagaan daerah mengantisipasi potensi bencana tsunami seperti penggunaan TES dalam simulasi kesiapsiagaan bencana.
Pembangunan 12 TES ini juga menjadi percontohan bagi Pemda lainnya untuk memiliki fasilitas serupa di daerahnya menjalankan upaya preventif untuk meminimalisir jumlah korban jiwa dan luka-luka.
Bangunan TES bukan sebagai tempat evakuasi akhir, namun sebuah fasilitas umum yang dapat dijangkau oleh para penyintas (survivor) dalam beberapa menit setelah peringatan terjadinya tsunami diumumkan sehingga berlokasi tidak jauh dari pantai (minimal 500 meter). Bangunan juga disyaratkan menggunakan konstruksi tahan gempa, karena kejadian tsunami pada umumnya didahului dengan gempa bumi dan kemungkinan gempa susulan.
Diakui Basuki, desainnya juga telah mempertimbangkan kondisi khas yang dihadapi pada masing-masing lokasi, ketersediaan lahan, kapasitas orang yang perlu ditampung, serta perkiraan ketinggian arus air maupun inundasi yang mungkin terjadi di kawasan tersebut.
Berbeda dengan bangunan umumnya, TES tidak memiliki dinding pemisah atau pagar yang dimaksudkan agar bisa secara mudah diakses oleh masyarakat pada saat terjadi tsunami. Dinding permanen tidak diperkenankan agar tidak ada bidang-bidang yang menahan laju arus air yang berisiko menambah beban pada struktur bangunan dan agar mengurangi potensi debris bangunan akibat terjangan arus tsunami.