Selasa 15 Jan 2019 07:03 WIB

Lima Tahun BPJS Kesehatan

Kehebohan yang kini melanda BPJS Kesehatan berawal dari defisit dana jaminan sosial

Nasihin Masha
Foto:

Kerja Komisi IX ini patut dipuji. “Ini bukan sekadar soal iuran, tapi ada hal yang lebih dalam,” kata Dede. Kalimat itu, penutup yang tepat dan manis. Bukan hanya soal duit tetapi ada seabrek masalah melilit dunia kesehatan.

Silang sengkarut yang dipicu defisit DJS membuktikan, semua bukan sekadar masalah uang. Namun, uang berhasil menjadi katalis yang membongkar keruwetan persoalan kesehatan di Indonesia. Jika BPJS Kesehatan pintu kecil menuju aula kesehatan, uang lubang kuncinya.

Selama ini, segala kekotoran ini tertimbun bongkahan kemuliaan isu kemanusiaan. Dokter dan rumah sakit adalah ‘institusi’ kemanusiaan, bukan sekadar profesi dan bisnis, sehingga permakluman demi permakluman selalu menekan keruwetan ke alam bawah.

Mengapa baru sekarang menyembul? Mengapa uang? Jawaban pertanyaan pertama sederhana saja: karena sekarang ada BPJS Kesehatan. Sebelum ini, isu seputar ini hanya muncul sporadis. Timbul-tenggelam.

Sesekali melejit, seperti kasus bayi disandera rumah sakit karena orang tuanya tak sanggup membayar biaya persalinan. Paling heboh penyanderaan bayi dari orang tua Ny Nurganti, warga Simalingkar, Medan, pada 1987, oleh klinik bersalin Bali Ulina, Padang Bulan.

Yang fenomenal berikutnya, kasus Prita Mulyasari pada 2008, perihal keluhan layanan berujung sengketa hukum. Publik pun spontan menggalang uang koin untuk membantu Prita: sebuah simbol perlawanan terhadap hegemoni kapitalisme dalam dunia kesehatan.

Sekali lagi mengapa setelah hadir BPJS Kesehatan sengkarut dunia kesehatan menjadi menyeruak? Jawaban terhadap pertanyaan ini sekaligus menjawab pertanyaan kedua. BPJS Kesehatan adalah selain institusi berdimensi sosial, juga menjadi institusi finansial.

Karena itu, BPJS Kesehatan berada dalam pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Aspek finansial inilah yang menjadi kunci inggrisnya. Galibnya institusi ekonomi, semua harus teradministrasi rapi dan setiap rupiah harus dipertanggungjawabkan.

Apalagi, ini uang negara dan uang publik. Lebih-lebih ini mengurusi dana sosial dan mengurusi orang yang sedang sakit. Dana sosial dan orang sakit adalah kombinasi eksplosif, meledakkan semua sensitivitas.

Dana itu sangat besar (sekitar Rp 70 triliun-Rp 90 triliun per tahun) dan langsung dibagi habis, hanya sekitar empat sampai lima persen untuk operasional. Dana itu untuk pembiayaan di rumah sakit dan kapitasi di puskesmas dan fasilitas tingkat pertama lainnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement