Sabtu 12 Jan 2019 21:51 WIB

Ada Tiga Sumber yang Bisa Memicu Tsunami di Selat Sunda

Gempa beruntung yang terekam di Selat Sunda tak mengakibatkan tsunami.

Warga memotret rekannya di antara puing-puing yang rusak karena tsunami Selat Sunda di Sumur, Pandeglang, Banten, Kamis (3/1/2019).
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Warga memotret rekannya di antara puing-puing yang rusak karena tsunami Selat Sunda di Sumur, Pandeglang, Banten, Kamis (3/1/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memastikan gempa beruntun yang terekam di Selat Sunda pada 10 dan 11 Januari 2019 tidak mengakibatkan kenaikan permukaan air laut yang signifikan.

Deputi Bidang Geofisika BMKG, Muhamad Sadly melalui keterangan tertulis, Sabtu (12/1), mengatakan potensi terjadinya kembali tsunami di Selat Sunda memang masih ada. "Sedikitnya terdapat tiga sumber tsunami di Selat Sunda, yakni Kompleks Gunung Anak Krakatau (GAK), Zona Graben, dan Zona Megathrust," ujar dia.

Ia menjelaskan, Kompleks GAK terdiri dari Gunung Anak Krakatau, Pulau Sertung, Pulau Rakata dan Pulau Panjang. Gunung serta ketiga pulau tersebut tersusun dari batuan yang retak-retak secara sistemik akibat aktivitas vulkano-tektonik.

Akibatnya, kompleks tersebut rentan mengalami runtuhan lereng batuan (longsor) ke dalam laut, dan berpotensi kembali membangkitkan tsunami.

Selain, Zona Graben yang berada di sebelah Barat-Barat Daya Kompleks GAK, juga merupakan zona batuan rentan runtuhan lereng batuan (longsor) dan berpotensi memicu gelombang tsunami. Sementara itu Zona Megathrust termasuk pula sebagai wilayah yang berpotensi membangkitkan patahan naik pemicu tsunami.

"Atas dasar itulah hingga saat ini BMKG tetap memantau perkembangan kegempaan dan fluktuasi muka air laut di Selat Sunda. BMKG juga menghimbau masyarakat untuk mewaspadai zona bahaya dengan radius 500 meter dari bibir pantai yang elevasi ketinggiannya kurang dari lima meter," terang dia.

Baca juga, Gempa 5 Skala Richter Guncang Selat Sunda.

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati menyampaikan pemasangan beberapa alat pantau dilakukan di sejumlah titik di Selat Sunda guna memantau aktivitas kegempaan dan fluktuasi muka air laut. 

Sejumlah titik itu di antaranya di Pulau Sibesi, Ujung Kulon, dan Labuan. Pulau Sibesi merupakan pulau terdekat dengan Kompleks GAK yang saat ini bisa dijangkau untuk pemasangan alat.  "Pulau ini difungsikan sebagai buoy alam agar dapat memberikan rekonfirmasi lebih dini bahwa gelombang tsunami  terjadi," kata dia.

Dwikorita pun menambahkan, agar pemantauan aktivitas kegempaan dan fluktuasi muka air laut lebih maksimal, BMKG merekomendasikan untuk membangun BTS (Base Transceiver Station) khusus di sekitar GAK dan Ujung Kulon.

Selain itu, juga dilakukan penambahan instrumentasi dan fasilitas untuk pemantauan muka air laut. Misalnya antara lain, Tide Gauge atau Sensor Water Level, Buoy, dan Radar Tsunami atau HF Radar.

"Penambahan peralatan tersebut untuk mempercepat pengiriman data hasil pengamatan aktivitas kegempaan dan fluktuasi muka air laut yang terpantau. Dengan begitu, kita memiliki lebih banyak waktu untuk meminimalisir jumlah korban akibat gempa maupun tsunami di wilayah pesisir Selat Sunda," jelas dia.

Dwikorita menambahkan, untuk mengantisipasi beredarnya informasi sesat dan bohong mengenai kondisi Selat Sunda, BMKG menghimbau masyarakat untuk mengecek informasi melalui kanal-kanal resmi milik BMKG.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement