REPUBLIKA.CO.ID, PALU -- Korban bencana alam gempa bumi, tsunami dan likuifaksi di Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Donggala, Sulawesi Tengah(Sulteng), memilih membangun hunian sendiri dari puing-puing bekas bangunan. Mereka tidak menunggu selesainya pembangunan hunian sementara (huntara).
"Khususnya terhadap shelter pengungsi yang dihuni oleh korban likuifaksi dan tsunami, yang saat ini lebih 80 persen telah miliki hunian sendiri. Mereka membangun sendiri pascabencana pada awal hingga akhir Oktober 2018. Hunian yang dibangun dari puing-puing bekas rumahnya yang ditelan lumpur likuifaksi dan disapu tsunami," kata Ketua Pansus Pengawasan Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (P3B) DPRD Sulteng, Yahdi Basma, di Palu, Sabtu (12/1).
Mereka rata-rata membangun di di Kelurahan Petobo, Kelurahan Balaroa, Desa Sibalaya, Kabupaten Sigi dan Desa Jono Oge. Selain itu, warga yang membangun hunian dari puing juga terlihat di sepanjang pesisir pantai Teluk Palu dan Donggala.
Yahdi mengemukakan, para korban bencana atau pengungsi telah familiar dengan puing bekas rumah mereka. Mereka kemudian memanfaatkan puing tersebut untuk membangun hunian. Karena itu, lanjut dia, jika pemerintah tetap melanjutkan pembangunan Huntara, maka dapat dipastikan itu akan mubazir atau tidak termanfaatkan.
"Saat ini yang dibutuhkan oleh korban yaitu hunian tetap. Bukan Huntara, walaupun ada sebagian yang telah menempatinya dari pemerintah. Namun, lebih banyak yang telah membangun hunian sendiri secara swadaya dari puing-puing bekas bangunan," ujar Yahdi.
Atas kondisi itu, ia menegaskan, pemerintah harus berhenti melakukan pembangunan huntara di beberapa lokasi pengungsian korban bencana. "Sudah saatnya pemerintah harus mulai membangun hunian tetap bagi korban, jangan lagi melanjutkan pembangunan huntara," katanya.