REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menilai pemerintah mestinya membenahi tata ruang pembangunan permukiman masyarakat. Sebab, beberapa hunian masyarakat berada di lokasi rawan bencana.
Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Eko Yulianto menekankan tata ruang merupakan hal utama dalam upaya menyelamatkan jiwa. Akan tetapi, aturan tata ruang pada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Pentaan Ruang justru tak dilaksanakan.
"Tata ruang berbasis resiko bencana belum diimplementasikan, tata ruang berbasisi resiko sangat penting selain peringatan dini," katanya dalam diskusi Pengurangan Resiko Bencana Melalui Teknologi dan Pendidikan Siaga Bencana di Gedung LIPI, pada Rabu, (2/1).
Ia menyebut salah satu lokasi rawan bencana berada di Lembang, Jawa Barat. Sebab, penelitian menemukan ada penginapan bertingkat yang dibangun di atas garis sesar Lembang.
"Bayangkan ketikan bangun di sini (diatas sesar Lembang) dia mendapat kan izin. Kalau mendapatkan izin ada bencana dia roboh, berhak memutut kepada pemerintah, karena dizinkan," ujarnya.
Beruntung, ada wilayah yang masyarakatnya sadar akan tata kelola ruang permukiman. Salah satunya di Mentawai, Sumatera Barat dimana beberapa rumah direlokasi oleh masyarakat setempat, ke wilayah yang lebih tinggi dari bibir pantai.
"Masyarakat ini setelah mengalami gempa 2009, mereka memindahkan desanya ke atas sebuah bukit, di belakang dataran pantai, ketinggiannya 42 meter," ucapnya.
Ia meminta pemerintah pusat dan daerah menaati peraturan dalam urusan tata kelola ruang. "Kita punya peringatan dini sebaik apapun kalau tata ruang tidak dibenahi tidak banyak menyelamatkan jiwa," sebutnya.