REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) meminta Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sukabumi memperhatikan penataan ruang di wilayahnya. Selama ini penataan ruang di sana dipandang minim hingga menimbulkan banyak korban saat terjadi bencana.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho menilai, pembangunan di Kabupaten Sukabumi belum memperhatikan tata ruang. Pasalnya, masih banyak pemukiman yang letaknya berada di kawasan rawan bencana.
"Dalam 10 tahun terakhir, longsor jadi bencana terbanyak di Sukabumi (132 kali), angin puting beliung (89 kali), banjir (44 kali). Pemda harus tempatkan penataan ruang dengan perhatikan peta rawan bencana," katanya dalam konferensi pers di kantor BNPB pada Rabu, (2/1).
Ia menjelaskan, BNPB sebenarnya memiliki peta rawan bencana yang dapat dilihat siapa pun. Tetapi, pembangunan di Sukabumi dianggap tidak mengikuti peta tersebut.
"Peringatan dini pemerintah ada dalam peta perkiraan longsor. Masyarakat dan pemerintah bisa akses. Ada per kabupaten dan provinsi," sebutnya.
Lantaran belum maksimalnya penataan ruang, warga di daerah rawan longsor seperti di Dusun Garehong Desa Sirnaresmi Kecamatan Cisolok pun menjadi korban. Pemerintah juga mesti mengeluarkan dana karena menetapkan status tanggap darurat. Padahal, Sutopo optimistis korban bisa dikurangi bila penataan ruang dan mitigasi diperhatikan.
"Tanggap darurat 31 Desember 2018 sampai 6 Januari 2019," sebutnya.
Di sisi lain, dari informasi hingga siang ini, cuaca di lokasi longsor sempat hujan. Akibatnya, proses evakuasi pun mengalami hambatan. Padahal total tim SAR gabungan mencapai 892 personel, 3 alat berat dan 2 anjing pelacak.
"Tidak mudah pencarian karena ada faktor cuaca. Pencarian sempat berhenti karena hujan. Kemudian longsor susulan empat kali tidak besar tapi bahaya buat tim SAR. Kondisi tanah lumbur, rapuh. Membahayakan. Prinsip dijunjung safety first oleh SAR," jelasnya.