REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Yudisial (KY) Jaja Ahmad Jayus mengatakan, lembaganya juga diberikan tugas untuk mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim. Langkah hukum dan atau langkah lain itu adalah bentuk advokasi represif yang merupakan wujud upaya perlindungan atas independensi kekuasaan kehakiman.
"Sepanjang tahun 2018, KY menerima 11 permohonan advokasi hakim," kata Jaja di Gedung KY Jakarta, Senin (31/12).
Bentuk tekanan yang dilakukan, seperti mengganggu proses persidangan, menghalangi pelaksanaan eksekusi, mengancam keamanan hakim, dan lain-lain. "Contoh kegiatan represif saat terjadi penghalangan pelaksanaan eksekusi di PN Maros, maka KY melakukan koordinasi dan komunikasi dengan PN Maros dan Kepolisian Resort Maros sampai pelaksanaan eksekusi selesai secara baik," terang Jaja.
Selain itu, KY juga telah menyelesaikan kasus di PN Bantul di mana pihak massa terdakwa tidak menerima putusan pengadilan sehingga membuat keributan dengan merusak fasilitas dan prasarana yang ada di pengadilan. Informasi dinyatakan selesai dan sudah dalam proses hukum oleh pihak kepolisian dengan telah dilakukan penetapan beberapa tersangka.
Di bidang penelitian, salah satu yang dilakukan adalah penelitian tentang manajemen hakim terkait independensi lembaga kekuasaan kehakiman. Penelitian dilakukan dengan membandingkan antara Komisi Yudisial (Indonesia) dan The High Council of Judges and Presecutorsi atau disebut HCJP (Turki).
Upaya menyeimbangkan independensi dan akuntabilitas peradilan, maka Turki membentuk lembaga yang diberi nama Dewan Tinggi Hakim dan Jaksa Turki (The High Council of Judges and Presecutorsi atau disebut HCJP). HCJP ini dipisahkan dari struktur Departemen Kehakiman sehingga menjadi lembaga yang independen dan otonom.
"HCJP ini berwenang untuk merekrut, mengatur penempatan, promosi, mutasi, mengawasi, dan penjatuhan sanksi disiplin terhadap hakim," terangnya.