REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ali Mansur
Meski sudah dua tahun lebih Rancangan Undang-undang Larangan Minuman Beralkohol (RUU Minol) dibahas, tapi belum disahkan menjadi Undang-undang (UU) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Salah satu penyebab belum disahkannya RUU Minol tersebut lantaran sejumlah fraksi tetap ingin mengubah judul menggunakan kata 'larangan' menjadi 'pengendalian', termasuk pemerintah.
Ironisnya, RUU Minol ini diprediksikan bakal berakhir tragis yaitu akan dihentikan karena tidak kunjung menemui titik temu. Padahal, RUU Minol ini sempat ditargetkan selesai pada Juni 2016 silam.
Aneh memang, alotnya pembahasan RUU Minol ini ada pada penamaan judul. Selain pemerintah, fraksi-fraksi di DPR RI juga belum menemui kesepakatan penggunaan nomenlaktur pada regulasi tersebut.
Sementara, pemerintah hanya menyiapkan satu alternatif judul RUU Minol yakni pengendalian. Fraksi yang menyetujui dengan judul 'larangan' adalah fraksi PPP, PKS dan PAN. Sedangkan, Fraksi PDIP, Gerindra, Hanura dan Nasdem setuju dengan judul 'pengendalian dan pengawasan'. Sedangkan Fraksi Partai Golkar dan PKB menginginkan nomelaktur tanpa embel-embel 'larangan' dan 'pengendalian dan pengawasan'.
Nasib RUU Minol seolah-olah menggambarkan melempemnya kinerja legislasi DPR RI pada 2018 atau lebih dikenal dengan tahun politik jelang pemilihan umum (pemilu) 2019. Sebab, sejumlah RUU juga memiliki nasib yang tidak jauh berbeda dengan RUU Minol.
Memang seharusnya, pada tahun politik ini, anggota dewan lebih gercep (gerak cepat), mengingat masa pengabdian akan berakhir. Jika ingin khusnul khotimah atau berharap terpilih lagi sebagai wakil rakyat tentu saja mereka wajib lebih produktif pada tahun politik ini, sayang kenyataannya tidak demikian.
Menurut Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo (Bamsoet) banyak faktor yang membuat target prolegnas tidak tercapai, sehingga kinerja legislasi di tahun 2018 tidak membanggakan. Selain terus bertambahnya RUU Prioritas dari tahun ke tahun, juga komitmen yang lemah antara DPR RI dengan pemerintah dalam merampungkan suatu RUU.
Sebagai contoh, pemerintah lamban dalam memberikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) ke DPR RI, padahal RUU tersebut merupakan inisiatif pemerintah sendiri. Maka mau tidak mau pembahasan RUU tersebut harus dilakukan perpanjangan, bahkan sampai lebih dari 10 kali masa sidang.
"Juga yang menjadi faktor itu, terkadang perwakilan dari pemerintah dalam hal ini menteri yang bersangkutan sering tidak hadir. Saya harapkan menteri hadir, karena dia yang memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan bukan bawahannya. Kehadiran menteri juga menunjukkan keseriusan pemerintah dala membahas RUU bersama kami (DPR RI)," terang Bamsoet, di Jakarta, Kamis (20/12) lalu.
Sementara itu, Anggota Badan Legislasi (Baleg), Arsul Sani mengakui ada keterkaitan antara penurunan produktivitas legislasi dan tahun politik. Arsul beralasan, selain karena keterbatasan waktu di tahun politik, juga banyak RUU prolegnas yang belum sepenuhnya siap unsur kelengkapan. Belum lagi, lanjutnya, anggota dewan yang kembali mencalonkan diri sebagai caleg juga disibukkan dengan jadwal kampanyenya ke daerah pemilihan (dapil) masing-masing.
"Oleh karena itu saya pernah memberikan usul, agar prolegnas prioritas itu lebih terukur. Tapi kan aspirasi masyarakat cukup deras, akibatnya RUU itu di prolegnas prioritaskan. Sejatinya seluruh anggota dewan telah berkomitmen untuk menyelesaikan RUU yang sedang dalam proses pembahasan," kata Arsul.
Menyoroti melempemnya kinerja legislasi DPR RI, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem) Titi Anggraini menyatakan, bahwa kinerja DPR merosot akibat fokus sebagian besar anggota yang terkonsentrasi pada aktivitas kampanye elektoral. Bahkan, kata dia, fakta itu diakui oleh pimpinan dewan sendiri. ]
Ini seperti peristiwa berulang setiap masa pemilu maka parlemen akan mengalami penurunan kinerja. Titi menilai, fakta tersebut sesuatu yang sangat tidak patut dan semestinya tidak kita tolerir.
Lanjut Titi, memang anggota DPR RI penting melakukan kerja-kerja pemenangan untuk memastikan bisa terpilih kembali. Namun, sesungguhnya kalau anggota dewan bekerja dengan benar dan amanah saja selama menjadi anggota parlemen, mereka tidak perlu sampai berlebihan meninggalkan tugas-tugas kedewananannya untuk bisa terpilih lagi. Sebab, sebagai pejawat mereka sudah memiliki modal kampanye yang cukup dengan fasilitasi legal dari negara berupa fasilitas reses, kunjungan kerja, maupun tugas-tugas resmi parlemen lainnya.
"Sepinya gedung dewan akibat anggotanya yang sibuk kampanye, dikarenakan mereka tidak percaya diri terhadap kinerjanya sendiri sehingga rela meninggalkan tugas utama untuk memastikan keterpilihan kembali," keluhnya saat dihubungi melalui pesan singkat, Kamis (28/12).
Maka dengan demikian, Titi menyampaikan, semestinya pemilih lebih jeli melihat situasi ini. Jangan sampai pejawat yang berkinerja buruk terpilih kembali pada pemilu 2019.
Pemilih sudah semestinya memberikan penilaian lebih mendalam pada para pejawat. "Sebab mereka lebih bisa diukur apakah kinerjanya memadai atau tidak sebagai anggota parlemen untuk bisa terpilih kembali," pintanya.
Penurunan kinerja legislasi DPR
Sebenarnya, penurunan kinerja legislasi DPR RI sudah terjadi dari tahun ke tahun. Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI) menilai, kinerja DPR RI dalam masa sidang 1 tahun 2018-2019 adalah terburuk sejak Reformasi berlangsung di Indonesia.
DPR dinilai tak menjalankan fungsi legislatifnya dengan baik. RUU yang telah ditetapkan dalam Prolegnas 2018 ditetapkan sebanyak 50 RUU, dan hanya lima RUU prioritas dan lima RUU kumulatif terbuka yang diselesaikan.
Kelima RUU prioritas yang berhasil disahkan menjadi UU adalah, pertama, Revisi UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) disahkan pada Februari 2018. Kedua, RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang yang disahkan pada 25 Mei 2018.
Ketiga, RUU tentang Kekarantinaan Kesehatan, disahkan pada 10 Juli 2018. Keempat RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang disahkan menjadi UU pada 26 Juli 2018. Kelima, RUU tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam yang disahkan pada 3 Desember 2018.
Kemudian untuk lima RUU kumulatif terbuka yang berhasil disahkan menjadi UU yaitu, RUU tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Korea tentang Kerja Sama di Bidang Pertahanan, disahkan pada 10 Juli 2018. Kemudian, RUU tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2017, disahkan pada 26 Juli 2018.
Selanjutnya, RUU tentang Pengesahan Perjanjian antara Indonesia dan Persatuan Emirat Arab mengenai Ekstradisi, dan RUU tentang Pengesahan Nota Kesepahaman antara Kementerian Pertahanan Indonesia dan Kementerian Pertahanan Kerajaan Spanyol tentang Kerja Sama di bidang Pertahanan, serta RUU tentang Nota Kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Serbia tentang Kerja Sama di Bidang Pertahanan, ketiganya disahkan pada 13 Desember 2013.
Catatan dalam periode 2015-2018 juga menjadi yang terendah. Pada 2015 sebanyak 16 RUU yang disahkan, tiga RUU prioritas dan 13 RUU kumulatif terbuka.
Pada 2016 menjadi yang tertinggi pencapaianya, sebanyak 19 RUU yang berhasil disahkan, 10 prioritas, sembilan kumulatif terbuka. Kemudian pada 2017 sebanyak 17 RUU sukses disahkan, di antaranya adalah enam RUU prioritas dan 11 RUU kumulatif terbuka.