Selasa 25 Dec 2018 17:43 WIB

Upaya BNPB dalam Mengurangi Risiko Bencana

BNPB dihadapkan dengan tantangan penyebaran informasi terkati risiko bencana.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Muhammad Hafil
Kondisi rumah warga pascabencana tsunami Selat Sunda, Senin (24/12).
Foto: Republika TV/Wisnu Aji Prasetiyo
Kondisi rumah warga pascabencana tsunami Selat Sunda, Senin (24/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ancaman atau resiko bencana pada dasarnya bisa dicegah dan dikurangi dengan berbagai upaya. Salah satunya, dengan memahami dan mempelajari pendidikan terkait kebencanaan. Dalam pendidikan kebencanaan (disaster education), Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), B. Wisnu Widjaja, mengatakan ada beberapa hal yang ditekankan di antaranya memahami resiko, tata kelola risiko, investasi dan peningkatan kesiapsiagaan (preparedness).

Ia mengatakan, BNPB sudah menyiapkan keempat hal tersebut. Dalam memahami risiko, ia mengatakan BNPB sudah menyiapkan peta resiko yang dibuat berdasarkan peta ancaman dari semua kebutuhan lembaga yang ada. Dari peta rawan bencana yang ada, BNPB mengolahnya dan ditambah dengan parameter analisa terkait manusia, tata guna lahan, infrastruktur, dan sebagainya. Sehingga, menurutnya, BNPB bisa menghitung jumlah kerusakan dan korban yang terdampak.

Selain itu, BNPB menyiapkan pemahaman resiko bencana dan memasangnya dalam sebuah aplikasi bernama 'inaRISK'. Aplikasi itu bisa diakses di situs dan melalui smartphone Android. Melalui aplikasi itu, ia menjelaskan bahwa seseorang bisa mengetahui ancaman yang ada di tempat ia berada dan di tempat yang lainnya. Orang yang bersangkutan juga bisa memahami tindakan apa yang bisa dilakukan sebelum dan pada saat bencana terjadi.

"Ini bagian dari edukasi kebencanaan. Tapi, tantangan besarnya, informasi yang belum bagus karena skala peta resiko yang masih kecil (1:250.000), datanya masih belum cukup. Artinya, pemerintah mau tidak berinvestasi di sana untuk memperkecil resiko bencana," kata Wisnu, saat dihubungi Republika.co.id, Senin (24/12).

Di dalam tata kelola resiko, Wisnu menjelaskan bahwa BNPB melakukan beberapa upaya pengurangan resiko bencana dan membuat perencanaan, membuat investasi dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) dan rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD).

Akan tetapi, menurutnya, anggaran untuk investasi dalam memperkecil resiko bencana masih terbatas. Apalagi, pemerintah daerah disebutnya juga tidak semua memperhatikan dan menyediakan dana yang memadai untuk tata kelola bencana.

Lebih lanjut, ia menuturkan bahwa BNPB sudah melakukan langkah kesiapsiagaan bencana dengan melakukan berbagai pelatihan. Pada 2012, BNPB pernah melakukan latihan di Palu, Sulawesi Tengah, dengan skenario yang sama seperti kejadian bencana gempa yang baru saja terjadi.

Akan tetapi, menurutnya, pelatihan kebencanaan tersebut rupanya tidak diteruskan oleh pemerintah daerah setempat. Padahal, pemerintah daerah melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) bertanggung jawab untuk memberikan pelatihan dan edukasi terkait kebencanaan sebagaimana disebutkan dalam undang-undang.

BPBD juga bertanggung jawab untuk menyosialisasikan informasi terkait pemahaman resiko bencana tersebut. Karena umumnya, tidak semua masyarakat sadar akan pentingnya pemahaman terkait bencana.

"Di sini, BNPB tidak bisa mencakup semua wilayah untuk memberikan pelatihan. Namun, BNPB telah membuat prototype, membuat pedoman, melatih fasilitatornya dan mereka melatih di tempat rawan bencana," lanjutnya.

BNPB juga dihadapkan dengan tantangan dalam penyebaran informasi terkait risiko bencana (risk communication). Pertama, tantangan terkait sampainya informasi tersebut. Wisnu mengakui informasi akan sulit sampai jika hanya mendasarkan pada aplikasi inaRISK. Karena tidak semua masyarakat dapat mengakses info melalui aplikasi tersebut. Karena itu, ia berharap masyarakat yang telah mengetahui aplikasi ini dapat mengajarkan kepada warga di sekitarnya.

Kedua, tidak semua daerah bisa menangkap sinyal yang bagus untuk bisa mengakses aplikasi tersebut. Tantangan ketiga terletak pada pemahaman orang bersangkutan yang membuka aplikasi inaRISK. Terkadang, mereka tidak paham peta atau warna yang digambarkan dalam aplikasi tersebut.

Wisnu lantas mempertanyakan keseriusan masyarakat dalam memahami dan mewaspadai resiko bencana. Setelah paham, masyarakat menurutnya perlu mengubah perilaku dan melakukan upaya agar mereka aman dari ancaman bencana. Karena umumnya, dalam keadaan normal dan aman, masyarakat enggan memperdulikan informasi atau peta terkait resiko bencana. Misalnya, warga setempat enggan pindah ke tempat lain atau memperkuat kontruksi rumah mereka.

"Yang penting, ancaman boleh ada, tapi jika kita bisa menyikapi dengan benar, tidak perlu takut, karena itu bisa diatasi. Misalnya dengan menyiapkan rumah-rumah tahan gempa, menyiapkan ruang yang aman jika terjadi gempa seperti meja makan yang kuat. Jika atap runtuh, anggota keluarga bisa aman berlindung di bawah meja," jelasnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement