Selasa 25 Dec 2018 15:35 WIB

BMKG: Anggaran Deteksi Bencana Pernah Dicoret

Permintaan presiden soal alat pendeteksi tsunami tak bisa direalisasikan segera.

Rep: Rizky Suryarandika/Febrianto Adi Saputro/Intan Pratiwi/ Red: Muhammad Hafil
Sejumlah warga terdampak tsunami saat mencari barang berharganya di Desa Way Muli, Kalianda, Lampung Selatan, Selasa (25/12).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah warga terdampak tsunami saat mencari barang berharganya di Desa Way Muli, Kalianda, Lampung Selatan, Selasa (25/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi), Senin (24/12), memerintahkan Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) untuk membeli alat pendeteksi dini gelombang tsunami. Hal itu ia sampaikan saat meninjau daerah terdampak tsunami Selat Sunda di Pandeglang, Banten.

"Ke depan saya perintahkan BMKG untuk membeli alat-alat deteksi early warning system yang bisa memberikan peringatan-peringatan dini kepada kita semua, kepada masyarakat," kata Jokowi.

Menurut Jokowi, koordinasi yang dilakukan tim gabungan TNI dan Polri serta BNPB dalam memitigasi bencana dari darat dan lautan. Presiden meminta tim evakuasi dan bantuan untuk segera memantau daerah-daerah yang berpotensi terkena dampak tsunami.

"Hari ini akan disisir kembali tapi lewat laut mengenai kemungkinan-kemungkinan tempat yang belum terpantau oleh kita," ujar Jokowi.

Namun ternyata,  penganggaran BMKG untuk pengadaan alat deteksi bencana kerap menemui kendala. Salah satunya, anggaran tersebut pernah dicoret karena dianggap bukan kebutuhan strategis pemerintah.

Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono belum merinci penganggaran alat deteksi apa yang sempat dicoret itu. Namun ia mengapresiasi perintah Presiden Joko Widodo yang meminta BMKG membeli alat deteksi dini baru dan menambah dana perawatan.

"Biasanya terkendala di pembahasan kalau enggak strategis ya dicoret. Dengan ada instruksi Presiden maka lembaga yang terkait penganggaran bisa kawal juga," katanya pada Republika.co.id, Selasa (25/12).

Walau sudah ada instruksi Presiden, ia menilai penganggaran alat deteksi dini tak bisa secepatnya direalisasi. Sebab ada mekanisme yang haus dilalui dari mulai perencanaan, pembahasan penganggaran dan pembelian.

"Masalahnya penganggaran tidak serta merta BMKG usulkan anggaran. Tentu harus lalui dewan, Kemenkeu, Bappenas dikaji. Itu prosesnya bersama," keluhnya.

Apalagi anggaran untuk tahun 2019 sudah disetujui pada tahun ini. Menurut prediksinya, instruksi Presiden mempercepat pengadaan alat deteksi dini baru terealisasi minimal tahun 2020. Situasi bisa berubah, kata dia, bila presiden melakukan intervensi.

"Ini perlu kerja luar biasa. 2019 sudah diketok tahun ini. Minimal 2020 (beli banyak alat deteksi dini). Kecuali ada instruksi Presiden pasti ada mekanisme untuk bisa cairkan uangnya. Kalau saat ini belum masuk di 2019," jelasnya.

Ia menyayangkan lambatnya pemerintah merespon permintaan alat deteksi dini jenis bencana gempa dan tsunami dari usulan BMKG. Padahal Indonesia berada di zona rawan banyak bencana. Kehadiran alat deteksi dini juga berdampak pada mitigasi bencana yang akan mengurangi korban.

"Karena bencana sudah mengerikan tahun ini banyak sekali. Kalau pengawasan BMKG terbatas ya kemungkinan besar korban bencana masih banyak tahun depan," ungkapnya. 

photo
Kronologi tsunuami di Selat Sunda.

Sementara, anggota Komisi V Nurhasan Zaidi mendesak kepada pemerintah untuk segera membeli alat pendeteksi tsunami. Ia menuturkan, berdasarkan evaluasi musibah yang terjadi di NTB dan Palu beberapa waktu lalu, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyampaikan bahwa alat pendeteksi yang dimiliki Indonesia saat ini tidak berfungsi.

"Laporan BMKG bahwa alat pendeteksi dini yang banyak disimpan di laut yang dibeli oleh kita pemerintah, bahkan bantuan dari berbagai negara sudah terpasang, tapi tidak termaintenance, mungkin banyak yang hilang, diambil tukang pencari besi tua, tidak termaintenance, sehingga tidak berfungsi," kata Nurhasan saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (25/12).

Kepada Komisi V BMKG mengaku BMKG sudah menganggarkan, namun anggaran perawatan tersebut tidak dipenuhi oleh pemerintah karena berbagai alasan penghematan. Tidak dipenuhinya anggaran perawatan tersebut oleh pemerintah menurutnya bentuk tidak adanya prioritas dari pemerintah terkait perawatan alat-alat tersebut.

Dirinya dan beberapa anggota di Komisi V mengaku sudah mendesak pemerintah dan Kemenkeu. Namun desakan tersebut tidak membuahkan hasil. Ia menganggap pernyataan presiden meminta BMKG untuk membeli alat pendeteksi tersebut dinilai terlambat. Namun ia berharap pernyataan tersebut bentuk dari keseriusan pemerintah menjadikan pengadaan alat pendeteksi dini tsunami sebagai suatu prioritas.

"Sekarang presiden baru ngeh. Kita sudah sampaikan sejak dulu. Jadi harus mengerti mana prioritas persoalan ini, jadi DPR sudah mengingatkan," ujarnya.

Anggota Komisi V dari Fraksi Partai Golkar Ridwan Bae juga menyatakan, BMKG dalam beberapa kali pertemuan dengan Komisi V kerap meminta anggaran untuk pengadaan alat pendeteksi dini tsunami tersebut. Namun hal itu menurutnya kerap tidak mendapat tanggapan yang baik dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

"Kalau di Komisi V kepala BMKG sudah beberapa kali menyampaikan itu," ujarnya.

Menurut Ridwan dari segi pendanaan negara siap, hanya saja kemampuan mencari prioritas inilah yang harus diutamakan. Kemampuan pemerintah, Menkeu, Bapenas dalam mengutamakan pembiyaan harus menjadi prioritas utama, sehingga seluruh pihak tidak kerepotan setelah bencana terjadi.

"Kalau terjadi gini baru serius orang, harusnya kan alat deteksi itu adalah pencegahan dini. Korban sudah berjatuhan, baru kita mulai berpikir," katanya.

Baca juga: Komnas PA Kecam Pernikahan Guru dan Murid di Tangerang

Baca juga: MUI: Belum Ada Fatwa Tentang Ucapan Selamat Natal

 

Sangat dibutuhkan

Sementara, Persatuan Insinyur Indonesia (PII) menilai berbagai bencana tsunami yang sempat melanda Indonesia belakangan ini menandakan Indonesia harus segera mempunyai sistem peringatan dini tsunami. Tujuannya, agar tidak banyak warga yang menjadi korban dari bencana tsunami tersebut.

Ketua Umum PII, Heru Dewanto menjelaskan Pemerintah perlu membangun sistem Peringatan Dini Tsunami tidak hanya yang disebabkan gempa tektonik (seismik) tapi juga gempa non tektonik seperti gempa vulkanik yg terjadi di selat Sunda.

Pembangunan ini meliputi subsistem di hulu (di tengah laut) berupa sistem sensor pemantau perubahan muka laut seperti buoy, kabel bawah laut, dan radar. Saat ini baru ada sistem peringatan dini di pantai, bukan di hulu.

“Pembangunan sistem hulu ini harus terintegrasi dengan rantai sistem peringatan dini hingga ke hilir, yaitu masyarakat di daerah yang akan berpotensi terpapar dan para pengelola fasilitas umum yang vital di daerah pesisir,” kata Heru, Selasa (25/12).

Heru juga menegaskan bahwa semua pihak harus mengkritisi sikap fatalisme yang sudah berakar di negeri ini dalam menyikapi potensi bencana. Yaitu sikap pandang utk menyerahkan urusan bencana ke tangan sang nasib, akibatnya kita ogah berinvestasi agak besar utk memitigasi bencana.

Padahal, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, dengan sistem mitigasi bencana dari hulu ke hilir, korban dan dampak bencana dapat diminimalisir bahkan dihindari. Memang investasinya cukup tinggi tapi kita harus mengalokasikannya.

“Sistem peringatan dini adalah kebutuhan mutlak untuk Indonesia, negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang di dunia yang berada di Cincin Api Pasifik. Dengan kebijakan yang kompherensif kita dapat meng-efisienkan investasi ini, mitigasi bencana dapat diintegrasikan dengan fungsi pertahanan negara, kemaritiman, dan perikanan. Dengan begitu negara bisa mempersiapkan diri menghadapi berbagai kerentanan dan acaman". ujar Heru.

Widjo Kongko, Ahli Tsunami  PII menjelaskan kondisi dan situasi tsunami yang terjadi di Banten dan Lampung adalah peristiwa fenomenal, memang ini kejadian jarang dan tidak lazim. Tsunami yang terjadi kali ini tidak didahului oleh gempa tektonik sehingga masyarakat di sekitar pantai tidak sadar untuk melakukan evakuasi mandiri.

“Sistem Peringatan Dini Tsunami yang dipicu oleh bukan gempa tektonik tidak ada, sehingga pihak otoritas atau Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika tidak dapat mengeluarkan peringatan dini ke masyarakat,” jelasnya.

Baca juga: Imam Besar Istiqlal Sarankan Umat tak Berpoligami

Baca juga: Seabrek Penghargaan Anies Baswedan yang Sepi Pemberitaan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement